REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama lebih dari 20 tahun, William Wongso telah mendalami kuliner Indonesia. Empat dekade lebih, dia mendokumentasikan berbagai kegiatan di pasar tradisional dan berinteraksi langsung dengan para ahli masak berbagai daerah.
Meski begitu, William merasa kajiannya tidak akan pernah tuntas karena begitu beragamnya masakan khas Indonesia. Pria 73 tahun kelahiran Malang itu menyoroti keuntungan dari kekayaan tersebut, sekaligus tantangan yang dihadapi.
Menurut William, keragaman kuliner Nusantara memang bisa menjadi potensi. Sayangnya, pendidikan dan pelatihan tentang kearifan lokal dan kekhasan tersebut kurang digencarkan, begitu pula pelestarian tradisi kuliner.
"Indonesia seperti taken for granted. Asal makan, suka makanan daerah, sudah. Memang tidak mudah karena Indonesia terlalu luas. Butuh upaya semua pihak, termasuk pemerintah," ujar William pada konferensi pers virtual pada Kamis (8/4).
Dalam pandangan William, kuliner Indonesia harus diakui ketinggalan cukup jauh dibandingkan banyak negara yang pariwisata gastronominya sudah mapan. Beberapa contoh sukses yakni Thailand, Vietnam, Jepang, dan juga Cina.
Padahal, Indonesia adalah negara yang bisa dibilang tradisi budaya kulinernya salah satu yang paling beragam sedunia. Dengan semua ketertinggalan, butuh cara agar Indonesia bisa masuk dalam peta kuliner internasional.
Dia mencontohkan upaya masif dari Thailand. Pada 2000, pemerintah negara tersebut mencanangkan program untuk menghadirkan 9.000 gerai makanan Thailand di seluruh dunia. Pada awal program, baru ada sekitar 5.000 gerai.
Pemerintahnya memopulerkan tagline "Thailand Kitchen of the World". Hanya dalam kurun waktu tiga tahun, jumlahnya melonjak menjadi 13 ribu. Saat ini, diperkirakan ada lebih dari 25 ribu rumah makan Thailand tersebar di seluruh dunia.
Serupa dengan Korea Selatan, yang menggencarkan tagline "Global Hansik: Korean Cuisine to the World". Sebelum kedua negara itu, Jepang pun mendahului dengan misi sama di bidang kuliner. Sementara, Indonesia belum melakukannya secara masif.
"Di luar negeri, cari bumbu Indonesia susahnya setengah mati. Sementara dengan adanya gerai di seluruh dunia, otomatis konsumsi bahan autentik meningkat. Berdampak pada ekonomi kerakyatan," kata William.
Dia tidak tinggal diam. Selain kerap melakoni diplomasi gastronomi ke mancanegara, William juga ambil bagian dalam program "Indonesia Spice Up the World", melibatkan pemerintah dan lintas komunitas kuliner.
Tujuannya adalah menyebarkan kuliner Indonesia ke seluruh dunia, utamanya lewat berbagai bumbu. William menjelaskan, berbagai bumbu khas Indonesia diperkenalkan secara aplikasi, tidak langsung dalam wujud resep.
Dia memberi perumpamaan, warga Prancis jika diberi resep rendang secara langsung dengan bahan lebih dari 10 jenis pasti akan pusing karena tak mengerti. Itu sebabnya, bumbu-bumbu khas diperkenalkan dalam aplikasi masakan setempat.
Setelah pandemi Covid-19 mereda, target "Indonesia Spice Up the World" adalah 'membumbui' Afrika dan Australia. William dan pegiat lain bakal mengajarkan warga lokal di sana untuk menggunakan rempah dalam berbagai masakan.
Di Afrika, misalnya, bumbu Indonesia dipadukan dengan menu barbeque khas. Begitu pula di Australia yang akan menyasar berbagai pengusaha rumah makan untuk mengenal cabai, lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, dan lainnya.
"Ini bisa memicu pertumbuhan UKM dan industri bumbu, baik dari daerah ke daerah di Nusantara, maupun ekspor lintas negara. Dampak ekonominya dirasakan petani yang selalu menanam komoditas yang baik dan berkualitas," ucap William.