Sabtu 10 Apr 2021 06:44 WIB

AS Serukan Embargo Senjata Terhadap Myanmar

Komunitas internasional perlu memastikan militer Myanmar harus bertanggung jawab

Rep: kamran dikarma/ Red: Hiru Muhammad
Seorang petugas polisi Myanmar dengan senapan mengamankan daerah itu saat buldoser menyingkirkan barikade pembatas jalan yang didirikan oleh pengunjuk rasa kudeta anti-militer di sebuah jalan di Mandalay, Myanmar, 03 April 2021. Setidaknya 535 orang telah dibunuh oleh militer sejak kudeta, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sementara lebih dari 2.500 orang telah ditahan.
Foto: EPA-EFE/Stringer
Seorang petugas polisi Myanmar dengan senapan mengamankan daerah itu saat buldoser menyingkirkan barikade pembatas jalan yang didirikan oleh pengunjuk rasa kudeta anti-militer di sebuah jalan di Mandalay, Myanmar, 03 April 2021. Setidaknya 535 orang telah dibunuh oleh militer sejak kudeta, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sementara lebih dari 2.500 orang telah ditahan.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mendesak komunitas internasional untuk memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar. Hal itu terkait berlanjutnya aksi kekerasan militer terhadap warga sipil yang menentang kudeta di negara tersebut.

Thomas Greenfield mengungkapkan, setiap pernyataan yang diadopsi Dewan Keamanan PBB diikuti dengan aksi kekerasan lebih lanjut oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap warga sipil. Dia menyebut hal itu tak dapat dibiarkan.

“Saya ingin kalian (rakyat Myanmar) tahu bahwa AS mendukung kalian. Kami akan mengerahkan segala daya kami, berkoordinasi dengan sekutu dan mitra kami, di sini, di Dewan Keamanan dan tempat lain, untuk membantu kalian menghadapi situasi yang mengerikan ini,” kata Thomas-Greenfield dalam pertemuan virtual informal Dewan Keamanan PBB pada Jumat (9/4). 

Dia mengingatkan kembali tentang kebrutalan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine tiga tahun lalu. Hal itu menyebabkan ratusan ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Sementara kekerasan saat ini menyebabkan ribuan warga Myanmar melarikan diri ke Thailand. Ratusan lainnya mencoba pergi ke India.

“Saya katakan dengan tegas, kita tidak bisa membiarkan militer mengguncang kawasan itu sekali lagi melalui kampanye kekerasan yang tak henti-hentinya,” ujar Thomas-Greenfield. 

Menurutnya, pada titik ini hanya tindakan konkret yang akan mengubah perhitungan militer. Tindakan itu bisa dalam berbagai bentuk. “Langkah-langkah ini termasuk sanksi terhadap militer, perusahaan induknya, dan siapa saja yang mencari keuntungan dari kekerasan, embargo senjata,” ucapnya.

Komunitas internasional pun perlu memastikan anggota militer Myanmar yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap warga sipil dimintai pertanggungjawaban. Thomas-Greenfield mendesak semua anggota PBB meningkatkan langkah-langkah politik, keuangan, dan keamanan melawan militer Myanmar. 

Hal itu harus dilakukan sampai kekerasan militer terhadap warga sipil berhenti dan Myanmar kembali ke aturan hukum di bawah pemerintahan sipil dan demokratis. 

 

sumber : ap
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement