REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Eks Narapidana Terorisme (Napiter), Sofyan Tsauri mengingatkan agar umat beragama di Indonesia tidak salah memilih guru agama. Karena, menurut dia, jika salah memilih guru bisa terjerumus pada perilaku intoleran.
"Anda harus punya guru yang baik, punya guru yang mencintai bangsa dan negara ini. Jangan asal guru, asal ulama sehingga kalian intoleran," ujar Sofyan dalam Seminar Publik Institut Demokrasi Republikan dengan tema "Menguatnya Ekstremisme dan Tantangan Penanganan Terorisme di Indonesia" di Jakarta, Sabtu (10/4).
Selain itu, penting juga untuk mengembangkan minat baca terhadap kitab-kitab keagamaan. Karena, menurut dia, radikalisme berkembang akibat minimnya minat baca, serta mudah kagum terhadap tokoh tertentu yang memiliki pemahaman keagamaan radikal.
"Kurangnya baca dan berpaku pada satu dalil sehingga kita ini sering terkagum-kagum dengan tokoh yang di luar sana sehingga kita terlibat dalam kelompok mereka. Maka dengan muda kita akan terpapar dan ikuti paham mereka," ucapnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil membenarkan pernyataan Sofyan. Menurut dia, kelompok ekstremis selalu tidak tuntas dalam memahami sebuah dalil ayat-ayat suci.
"Bacanya sekadar satu ayat dan mengambil kesimpulan, contohnya menggap bank haram, riba, dan tak berkah, menganggap pemerintah sebagai pemerintah thaghut karena tak melaksanakan hukum Islam," katanya.
Karena itu, lanjutnya, pemberantasan terorisme memerlukan kerja kolektif antar elemen masyarakat agar penanganannya bisa efektif. "Hemat saya, pemerintah (dalam pemberantasan terorisme) tidak bisa hanya melalui BNPT, tapi harus civil society yang perlu lebih banyak dilibatakan," jelasnya.
Aksi terorisme yang kembali terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa penanganan aksi teror harus berbarengan dengan penanganan ekstremisme. Karena itu, Perpres nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Tahun 2020-2024 dinilai harus segera dijalankan.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, kelemahan banyak regulasi selama ini adalah di tingkat pelaksanaan. Perpres RAN PE secara konseptual sudah bagus, tapi pelaksanaannya juga harus bagus.
"Perpres ini memungkinkan melibatkan banyak kalangan. Kalangan kampus, akademisi kebagian banyak di situ," kata Isnur.
Dia menjelaskan, RAN PE dinilai bagus karena ia partisipatif, serta melibatkan seluruh kementerian dan lembaga yang selama ini dianggap tidak koordinatif. Untuk mengatasi terorisme, kata dia, memang dibutuhkan kerjasama semua pihak.
"RAN PE relatif panjang dan relatif partisipatif dan benar Perpres tersebut adalah soft approach, pendekatan lunak dan melibatkan hampir seluruh kementerian dan kelembagaan yang selama ini kita anggap tidak koordinatif. Itu bagus," jelas Isnur.
Bahkan, lanjutnya, pemerintah dalam penyusunan RAN-PE ini melibatkan Komnas Perempuan. Sebab, dalam perpres tersebut ada pembahasan isu gender dalam penanggulangan terorisme. "Jadi secara isi, Perpres ini bagus karena melibatkan hampir semua institusi," katanya.