REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal merupakan syariat yang diajarkan Rasulullah SAW. Islam mengajarkan penentuan awal bulan Hijriyah menggunakan dua metode, yaitu rukyat (pengamatan) hilal dan hisab.
Dua metode ini merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW: shumu liru’yatihi wa afthiru liru’yatihi (puasa dan batalkan puasa jika kalian melihat hilal (HR Bukhari dan Muslim). Dalam redaksi riwayat lain, dijelaskan jika pengamatan terhalang cuaca, sempurnakanlah bilangan Syaban (fain ghumma ‘alaikum faqdurula).
Penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal di Indonesia mempunyai kekhasannya sendiri. Pemerintah memang menggelar sidang itsbat (penetapan), tetapi juga memberikan ruang dan otoritas pada ormas Islam untuk melaksanakan penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal. Beberapa kali pernah terjadi perbedaan, misalnya pada 2011 lalu. Perbedaan tersebut seputar penetapan awal Syawal. Muhammadiyah merujuk pada kriteria wujudul hilal di atas ufuk menetapkan Syawal lebih awal.
Sementara, Nahdlatul Ulama dengan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan visibilitas terlihatnya hilal) memutuskan hilal tidak tampak, maka digenapkanlah puasa Ramadhan 30 hari.
Perbedaan ini mempunyai landasan dan argumentasi dalilnya masing-masing. Dan, sepanjang sejarah Indonesia, masyarakat sudah dewasa menyikapi perbedaan itu. Kendati demikian, upaya penyamaan persepsi untuk instrumen identifikasi hilal yang menandai awal dan akhir bulan Hijriyah terus dilakukan pemerintah. Rekomendasi Jakarta 2017 merekomendasikan pembahasan kriteria visibilitas hilal. Namun, selama belum ada kesepakatan tentang kriteria hilal, maka umat diimbau agar tetap saling menghormati selisih pendapat satu dan lainnya.
Berikut Perbincangan redaktur Republika.co.id Nashih Nasrulloh, dengan Kepala Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Prof. Thomas Djamaluddin dalam program Newstory Republika: Mengapa ada perbedaan awal dan akhir puasa? Ikuti pembahasan selengkapnya di video di bawah ini: