REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Febrianto Adi Saputro, Antara
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan Indonesia masih bisa mengambil hak dari kerugian negara akibat perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia mengatakan, Indonesia dapat mengajukan gugatan perdata terkait kasus oleh jaksa pengacara negara alias kejaksaan.
"Kerugian negara masih bisa dikembalikan apabila penyidik menganggap tidak ada unsur pidana tapi ada kerugian secara nyata maka bisa diajukan gugatan perdata. Kan kata UU (Tindak Pidana Korupsi) begitu," kata Edward Hiariej di Jakarta, Senin (12/4).
Dia menjelaskan, langkah perdata itu sesuai dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Gugatan perdata bisa diajukan terhadap Sjamsul Nursalim kendati perkaranya sudah di SP3 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia mengatakan, aset kerugian negara juga dapat ditelusuri meskipun berada di luar negeri. Namun, dia mengakui hal tersebut membutuhkan waktu lama untuk dilakukan.
Dia mengatakan, salah satu kendalanya adalah UU Perampasan Aset yang belum juga disahkan. Selain itu, sambung dia, diperlukan juga kerjasama antar pemerintah dalam hal ini kemenkumham guna mendapatkan aset negara yang berada di luar negeri tersebut.
"Itulah tergantung bagaimana kita melakukan asset tracing. Itu untuk melacak asetnya dari mana saja. Tapi kendalanya memang kita belum memiliki UU tentang Perampasan Aset," katanya.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan total kerugian negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp 109 Triliun lebih. "Saya baru saja memanggil Dirjen Kekayaan Negara dan Jamdatun dari Kejagung. Tadi menghitung (kerugian BLBI) Rp 109 lebih hampir Rp 110 triliun, jadi bukan hanya Rp 108 triliun," kata Mahfud dalam tayangan video dari Humas Kemenko Polhukam, Senin (12/4).
Pemerintah pun masih terus melakukan perhitungan terkait kerugian negara atas kasus BLBI. "Tapi dari itu yang masih realistis untuk ditagih itu berapa ini masih sangat perlu kehati-hatian," jelasnya.
Mahfud menegaskan, pemerintah tak bisa menolak putusan MA yang meniadakan hukum pidana dari kasus BLBI. Dia pun mempersilakan masyarakat yang keberatan dengan melaporkan adanya dugaan unsur pidana dalam kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"MA kan sekarang sudah membuat putusan yang itu tidak bisa tolak, itu urusan MA. Bahwa ada masyarakat masih mau mempersoalkan itu silakan lapor ke KPK. Tapi bagi pemerintah kebijakan BLBI tahun 1998 itu sudah selesai, sudah dianggap benar meskipun negara rugi," tuturnya.
Dalam kesempatan itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan pemerintah telah memantau kasus tersebut sejak Mahkamah Agung memutuskan kasus BLBI pada Juli 2019. Dalam keputusan dijelaskan bahwa kasus tersebut tidak ada pidananya.
"Kita sudah mulai menginventarisir kalau tidak ada pidana mari kita mulai kerja sekarang untuk menagih perdatanya, sudah mulai. Nah lebih konkret lagi kemudian pada bulan Juli tahun 2020 upaya KPK untuk PK itu tidak diterima oleh MA, berarti sudah selesai tidak ada upaya hukum lain. Upaya PK-nya itu peninjauan kembali sudah dinyatakan tidak diterima resmi kan," ujarnya.
Pemerintah, lanjut dia, sudah melakukan rapat-rapat sejak Juni 2020. Kemudian saat KPK mengumumkan SP3, pemerintah pun langsung membuat tim. "Jadi masyarakat kan curiga wah itu membuat perdata menghilangkan pidana? Memang sudah hilang. Tapi kalau masih ada, bukannya hilang, memang sudah diputus tidak ada pidananya itu oleh Mahkamah Agung," katanya.
Oleh karena itu, Mahfud menyarankan bagi masyarakat yang tidak puas dengan hasil Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim dan Istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim dalam kasus BLBI memiliki bukti dipersilahkan untuk laporkan pada KPK. "Kalau KPK masih mau terus awasi masyarakat masih punya data lain silahkan ke KPK, kita kan pidananya ini negara harus selamatkan uang Rp 109 triliun. Misalnya nanti tahun ini dapat berapa, tahun depan dapat berapa, itu adalah uang negara yang meskipun rugi jika dibandingkan dengan kucuran pada tahun 1998, ini tetap harus diselamatkan," papar Mahfud.
Mahfud juga jelaskan alasan KPK tidak dilibatkan dalam Satgas BLBI yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo. Mahfud mengatakan setidaknya ada dua alasan KPK tak terlibat di Satgas.
"Nah itu dia kalau KPK diikutkan tidak tepat. Pertama itu karena KPK merupakan lembaga penegak hukum pidana," kata Mahfud.
Kedua, lanjut dia, KPK adalah lembaga dalam rumpun eksekutif tetapi bukan bagian dari pemerintah, seperti halnya Komnas HAM. "Kalau dilibatkan di Satgas, nanti dikira disetir, dipolitisasi, dan sebagainya. Biar dia bekerjalah kalau memang ada korupsinya dari kasus ini nantikan bisa diikutkan, bisa tetap diawasi," katanya.
Mahfud menyebutkan telah berkoordinasi dengan KPK. "Saya perlu data-data pelengkap dari KPK. Karena KPK tentu punya data-data lain di luar perdata yang bisa ditagihkan, digabungkan ke perdata karena pidananya sudah diusut. Hari Selasa besok saya akan ke KPK," kata dia.