REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, banyaknya prostitusi online remaja di masa pandemi adalah akibat dari kurangnya pengawasan orang tua terhadap penggunaan gawai.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, meningkatnya kasus prostitusi online yang melibatkan anak di bawah umur pada masa pandemi Covid 19, tidak terlepas dari penggunaan gadget dan internet anak-anak tersebut, karena aktivitas belajar dari rumah (BDR) atau PJJ.
"Lemahnya pengawasan orangtua dalam penggunaan media sosial anak bisa juga menjadi pintu para predator anak dapat berkomunikai dengan anak-anak kita melalui dunia maya," ujar Retno kepada Republika.co.id, Senin (12/4).
Lewat dunia maya, pendekatan melalui japri dengan bertukar nomor ponsel terjadi, lalu anak korban dirayu berpacaran dan kemudian dilakukan temu darat. Akibatnya, banyak korban anak kemudian diculik, diperkosa dan dieksploitasi secara seksual.
Menurut Retno, penegak hukum--khususnya kepolisian sejauh ini--sudah melakukan tugasnya dengan baik. Hal itu terbukti dengan banyaknya kasus yang dibongkar selama masa pandemi.
Para pelaku juga dituntut dengan pasal dalam UU Perlindungan Anak yang hukumannya berat. "Penegak hukum menangani ketika sudah kejadian, itu sesuai kewenangannya. Nah kewenangan dan tanggungjawab orangtua lebih pada upaya preventif atau pencegahan, upaya melindungi anak-anak," jelasnya.
Selain itu, korban pasti mengalami masalah gangguan psikis yang tak mudah dipulihkan. Retno menegaskan pentingnya pendampingan jangka panjang, tidak hanya oleh psikolog tapi juga peran orangtua untuk sama-sama memulihkan kondisi psikologis korban.