REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Jaksa Penuntut Umum Kejari Lubuklinggau, Sumatera Selatan, menuntut Kepala Desa Sukowarno Sumatera Selatan, Askari (43) agar dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Ini karena, dia menyelewengkan dana bansos Covid-19.
JPU Kejari Lubuklinggau Sumar Herti mengatakan, jika perbuatan terdakwa menghambat program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan penanganan Covid-19 serta menimbulkan kerugian negara. "Hal-hal yang memberatkan bahwa sebagian dana bansos digunakan terdakwa untuk judi, main perempuan dan membayar hutang," kata Sumar lewat sambungan video persidangan di Pengadilan Negeri Palembang.
Sumar menyatakan, terdakwa melanggar pasal Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor.
Jaksa juga menuntut terdakwa mengembalikan uang kerugian negara sebesar Rp 187,2 juta dengan ketentuan jika denda hukuman tidak dibayar dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda dapat disita. "Dan jika tidak mencukupi maka diganti pidana penjara selama 2,5 tahun," kata Sumar.
Pada persidangan yang dipimpin hakim ketua Sahlan Effendi tersebut, Askari yang didampingi penasehat hukumnya, Supendi, menyatakan, akan mengajukan pledoi. Askari diduga menggelapkan dana BLT dana desa Sukowarno Kabupaten Musi Rawas sebesar Rp 187 juta saat masih menjadi kades pada Mei 2020.
Dana tersebut digunakan untuk untuk membayar hutang sebesar Rp 31 juta, lalu Rp 5 juta dipinjam oleh seorang warga Suro, Rp 6 juta membayar hutang ke warga desanya, Rp 15 juta digunakan untuk perayaan Idul Fitri, Rp 70 juta digunakan untuk judi togel dan Rp 50 juta digunakan untuk judi remi.
Pada persidangan juga terungkap sebagian dana digunakan terdakwa untuk membayar uang muka satu unit mobil milik selingkuhannya sesama warga Desa Sukowarno. Desa Sukowarno yang dipimpin terdakwa mengalokasikan dana sebesar Rp 280 juta untuk 156 kepala keluarga penerima bantuan langsung tunai dana desa (BLTDD) Covid-19 dengan anggaran Rp 600 ribu selama tiga bulan pada 2020.
Namun, terdakwa meminta Kaur Keuangan Desa Sukowarno, Ratih, untuk mengajukan pencairan anggaran sebesar Rp 370 juta dengan menambahkan beberapa item pengeluaran baru. Kemudian terdakwa mendatangi Ratih membawa cek kosong, terdakwa memintanya menandatangani cek kosong itu dengan dalih agar lebih mudah menarik dana bantuan dari bank saat jadwal pencairan. Terdakwa lalu mencairkan dana sebesar Rp 370 juta dari bank pada Mei 2020.
Selanjutnya pada 22 Mei 2020 dana tersebut disalurkan ke 156 KK penerima BLTDD untuk tahap I sebesar Rp 93 juta dari Rp 280 juta yang telah dialokasikan. Sedangkan tahap II dan III sebesar 187 juta tidak terdakwa salurkan kepada penerima melainkan digunakan untuk menambah kekayaan terdakwa.