Pemerintah akan Ubah Subsidi Elpiji 3 Kg dan Minyak Tanah
Red: Ratna Puspita
Sejumlah warga mengantre saat membeli gas elpiji 3 kilogram bersubsidi. | Foto: Antara/Adeng Bustami
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana mengubah skema pemberian subsidi elpiji tiga kilogram dan minyak tanah. Perubahan skema dari subsidi berbentuk barang atau komoditas menjadi subsidi langsung berbasis rumah tangga penerima.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam Rapat Badan Anggaran DPR mengatakan mekanisme transformasi kebijakan fiskal itu supaya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. "Transformasi subsidi berbasis orang dalam konteks elpiji, misalnya, ini diarahkan ke program perlindungan sosial. Kami berharap ini bisa dilakukan mulai tahun 2022," kata Febrio Kacaribu dalam siaran pers diterima, di Jakarta, Selasa (13/4).
Dia menerangkan selama ini subsidi elpiji tiga kilogram masih belum tepat sasaran karena selisih harga jual eceran dan patokan mencapai Rp7.000 per tabung. Subsidi komoditas menyebabkan elpiji tiga kilogram bisa dibeli bebas oleh masyarakat, termasuk kalangan menengah hingga atas.
"Kalangan yang menikmati subsidi itu justru yang tidak berhak menerima. Kondisi ini yang ingin kami perbaiki ke depan," kata Febrio.
Pada 2022, elpiji tiga kilogram dan minyak tanah akan dijual dengan harga keekonomian untuk menghilangkan disparitas harga pasar. Kebijakan subsidi akan diberikan secara tertutup dalam bentuk non tunai langsung kepada rumah tangga sasaran, yaitu keluarga penerima manfaat, usaha mikro, petani, dan nelayan yang berhak menerima subsisi sesuai dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial.Merujuk data Kementerian Keuangan, sebanyak 36 persen total subsidi dinikmati oleh 40 persen masyarakat miskin.
Sementara itu, 40 persen masyarakat kaya juga tercatat menikmati 39,5 persen dari total subsidi, sehingga mengindikasikan bentuk ketidakadilan.Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah sebanyak 72,1 persen elpiji merupakan komoditas impor. Sedangkan sisanya 27,9 persen berasal dari produksi domestik.
"Pada prinsipnya harga harus tepat dan dalam saat yang bersamaan juga melindungi masyarakat miskin serta rentan," kata Febrio.