Pemkot Yogyakarta Inisiasi Rintisan Polsek Ramah Anak
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Balai Kota Yogyakarta. | Foto: Yusuf Assidiq.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta menginisiasi rintisan Polsek Ramah Anak (PRA) melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB). PRA ini diinisiasi berdasarkan angka kekerasan anak dan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) terus bertambah.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) DP3AP2KB Kota Yogyakarta, Sylvi Dewajani mengatakan, salah satu hak anak yang harus dijamin termasuk pada kasus ABH. Pada kasus ABH, anak tindakan pidana seperti mencuri, kekerasan fisik, penganiayaan, hingga berkembang menjadi kejahatan jalanan.
Pada dasarnya, kata Sylvi, ABH juga merupakan korban yang berasal dari sistem pola asuh yang kurang maksimal dalam menstimulasi tumbuh kembang anak. Sehingga, hal ini juga memengaruhi perkembangan anak.
"Oleh karenanya, dalam usia perkembangan yang masih dilindungi oleh UU, maka ABH ini dalam menjalani proses hukum yang ada harus pula dijamin atas terpenuhinya hak-hak anak," kata Sylvi, di kompleks Balai Kota Yogyakarta, Rabu (14/4).
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tercatat 4.116 kasus kekerasan pada anak pada periode Januari-Juli 2020. Jumlah ini meningkat menjadi 4.833 kasus hingga Agustus 2020.
Dengan begitu, adanya PRA diharapkan ada aturan, dana hingga kemitraan yang saling bersinergi dalam pemenuhan dan perlindungan hak anak khususnya di Kota Yogyakarta. Seperti adanya sinergi dengan fasilitas pelayanan kesehatan dalam pemenuhan layanan psikolog khusus anak dan lembaga perlindungan anak lainnya yang sudah terbentuk di Yogyakarta.
Tentunya, PRA ini juga melibatkan pemerintah daerah dan kepolisian sebagai penanggung jawab dalam sinergitas PRA. "Semua kondisi atas kasus yang berhubungan dengan ABH pasti memerlukan PRA," ujar Sylvi.
Kepala DP3AP2KB Edi Muhammad mengatakan, PRA diinisiasi dengan tujuan lebih menjamin terpenuhinya hak-hak anak dalam melaksanakan sistem peradilan ABH. Sehingga, ABH tetap memperoleh hak-haknya selama proses penyidikan dilaksanakan.
"Pada dasarnya yang paling penting adalah adanya pendekatan psikologis yang dapat membangun karakter baik anak selama proses penyidikan," katanya.
Walaupun begitu, lanjut dia, ABH tetap harus merasakan efek jera dari perbuatannya. Di sini, peran PRA juga diharapkan agar proses peradilan anak teta tidak meninggalkan hak-hak anak itu sendiri.
"Sehingga anak tidak lagi ingin mengulangi perbuatannya, tanpa meninggalkan hak-hak dasar anak yang telah kita ratifikasi dalam konvensi hak anak," ujarnya.