REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang Jakarta Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K) mengatakan, menjadi riskan jika menggunakan vaksin yang belum terbukti efikasi dan keamanannya berdasarkan kaidah ilmiah.
"Seperti vaksin-vaksin yang lain juga sampai fase 3 baru bisa boleh dipakai untuk masyarakat, nah ini (vaksin Nusantara) kan belum, jadi menurut saya sangat riskan ya memakai suatu vaksin yang belum jelas bukti efikasinya dan juga keamanannya," kata Erlina, Rabu (14/4).
Pernyataan Erlinaitu menanggapi kesediaan anggota DPR untuk menggunakan vaksin Nusantara.Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan izin Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis fase II untuk vaksin Nusantara.
Hal itu karena ada beberapa syarat terkait kaidah ilmiah yang belum terpenuhi, diantaranya cara uji klinik yang baik (good clinical practical), proof of concept, good laboratory practice dan cara pembuatan obat yang baik (good manufacturing practice).
Erlina menuturkan jika vaksin Nusantara ingin lanjut ke uji klinis fase 2, maka harus memenuhi kriteria atau persyaratan tersebut sesuai kaidah ilmiah, sebagaimana juga dilewati semua vaksin-vaksin lain.
"Kalau vaksin Nusantara mau lanjut ke fase 2 ya harus memenuhi kriteria itu, harus berusaha, karena vaksin-vaksin yang lain juga melewati semua ini, jadi kalau tidak melewati tapi langsung dipakai menurut saya sih kasihan ya orang-orang yang tidak mengerti lalu menjadi sukarelawan untuk disuntik, padahal dia tidak tahu apakah memang efektifitasnya baik berapa persen kita tidak tahu safety-nya (keamanan) juga kita tidak tahu karena belum selesai kan," ujarnya.
Menurut Erlina, suatu produk baru termasuk vaksin bisa dipakai untuk pelayanan medis jika sudah melewati uji klinis fase 3. "Kalau belum melewati uji klinis fase 3, seharusnya jangan digunakan demi keamanan dan keselamatan pengguna vaksin," ujarnya.