REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT berfirman dalam beberapa ayat dalam Alquran bahwa Dia tidak menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Firman tersebut ingin menjelaskan Islam adalah agama yang memudahkan pemeluknya dalam menjalankan ibadah atau perintah-Nya.
Salah satu kemudahan dalam beribadah yang diberikan Allah dan Rasul-Nya adalah terkait bersuci. Umat Islam dibolehkan mengganti cara bersuci dari berwudhu menggunakan air ketika hendak melakukan sholat, menjadi bersuci menggunakan debu atau tayamum.
Namun, beberapa orang mempersoalkan terkait hukum bertayamum untuk mengangkat hadast besar. Bolehkah bertayamum untuk mengganti mandi junub saat berhadast besar?
Direktur Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat dalam bukunya Tayammum tidak Mengangkat Hadast Hanya Membolehkan Sholat menjelaskan adanya hadist Nabi yang membolehkan bertayamum untuk mengganti mandi junub. Namun, hal ini baru bisa dilakukan jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya berikut ini: Dari Jabir ra berkata: Kami dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya, "Apakah kalian membolehkan aku bertayamum?" Teman-temannya menjawab, "Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayamum. Sebab kamu bisa mendapatkan air." Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah beliau, "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayamum..." (HR Abu Daud dan Ad-Daruquthuny).
Hadist Nabi tersebut mengatakan, kondisi sakit merupakan salah satu syarat yang membolehkan tayamum. Kondisi darurat sakit ini membuat tayamum boleh dilakukan karena jika memaksakan untuk berwudhu, maka nyawa orang tersebut akan terancam.
Namun, apabila tubuhnya masih mampu untuk mandi dengan air, kecuali hanya bagian yang terlukanya saja, boleh saja tetap mandi dengan meninggalkan bagian yang luka. Biasanya bagian luka itu ditutup dengan perban, yang di dalam istilah fiqih disebut dengan jabiirah.