REPUBLIKA.CO.ID, Disertasi Muhammad Mustafa Azami di Universitas Cambridge meruntuhkan berbagai tudingan kaum orientalis yang meragukan kebenaran hadits. Bahkan, reputasi ini diakui beberapa orientalis sendiri, semisal Prof AJ Arberry dari kampus yang sama. Di antara sasaran kritik Azami ialah orientalis Josept Scahct, penulis buku The Origins of Muhammadan Jurisprudens (1950).
Bantahan yang diajukan Azami termaktub dalam karyanya, On Schacht's Origin of Muhammadan Jurisprudence (2004). Scahct sendiri bukan sembarang ilmuwan.
Orang Yahudi tersebut banyak melakukan kajian atas sejarah pemikiran hukum Islam. Para ahli sejarah waktu itu tak sedikit yang mendukungnya, apalagi dari kalangan sesama orientalis Barat.
Di antara klaim yang kontroversial dari Scahct ialah, kehadiran Nabi Muhammad SAW tidak berkaitan dengan pembentukan sistem hukum Islam. Lebih lanjut, sarjana kelahiran Polandia tahun 1902 itu menganggap, hukum Islam tak ubahnya bentuk peradilan yang sudah berlaku sejak prakenabian Muhammad SAW alias zaman jahiliyah.
Alasannya, pada masa itu belum ada hukum tertulis yang berlaku di tengah komunitas Arab. Alhasil, warga setiap mengalami sengketa akan membawa persoalannya kepada seseorang yang dinilai bijaksana di antara mereka.
Dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudens, Scahct mengemukakan pendapatnya, yakni sistem isnad yang dipakai untuk mengukur tingkat akurasi periwayatan hadits hanyalah bikinan para ulama. Artinya, sistem tersebut tak pernah ada pada zaman Nabi SAW atau para sahabat.
Adalah para pakar fikih (qadhi) yang membuatnya, terutama menjelang era Imam Malik. Karya Azami dengan lugas membantah klaim Scahct demikian dengan bukti-bukti ilmiah dan historis.
Azami menemukan, penulis The Origins of Muhammadan Jurisprudens itu telah keliru dalam menggunakan metodologi riset. Sebab, mereka termasuk Scahct melakukan penelitian bukan atas kitab-kitab hadits, melainkan kitab sejarah dan fikih.
Bahkan, hasil dari riset yang cacat secara metodologis itu lantas digeneralisasi sehingga muncul kesimpulan, teori isnad bersifat ahistoris (bikinan para ulama). Azami menegaskan, bila para orientalis itu melakukan studi langsung atas kitab-kitab hadits, niscaya hasil penelitiannya akan berbeda.
Menurut Azami, Scahct dalam mengkritik keaslian (authenticity) hadits semestinya memakai metodologi kritik hadits. Ada beberapa tahap dalam pendekatan itu. Misalnya, membandingkan hadits-hadits dari berbagai murid dari seorang guru yang sama.
Kemudian, membandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang guru yang disampaikan pada waktu-waktu berlainan. Selanjutnya, membandingkan pembacaan lisan dengan apa yang tertulis dalam catatan atau naskah. Akhirnya, membandingkan hadits-hadits dengan ayat-ayat Alquran yang relevan.