REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Salah seorang hukama terkemuka, Syekh Ibn Athaillah, membedakan dua jenis taubat, yaitu taubat inabah dan taubat istijabah.
Taubat inabah ialah sikap taubat seseorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiat yang telah dilakukannya, sehingga terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksa serta malapetaka Tuhan yang amat pedih di neraka.
Dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya membuatnya betul-betul takut kepada Allah SWT. Dalam suasana takut seperti itu, ia menyerahkan diri, bertaubat, dan memohon pengampunan kepada Allah. Ia selalu membayangkan api neraka yang akan menyiksa dirinya seandainya Allah tidak memaafkannya.
Siang dan malam selalu melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikannya bisa mengikis habis segala dosa-dosanya, sebagaimana firman Allah:
إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّئَِّاتِۚ “Inna al-hasanatyudzhibna al-sayyi'at (sesungguhnya amal kebajikan menghapuskan segala dosa).” (QS Surat Hud 114). Sebesar apa pun dosa seseorang, pengampunan dosa jauh lebih besar.
Adapun taubat istijabah merupakan bentuk taubat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan-Nya. Taubat dalam tahap ini tidak lagi membayangkan Allah SWT sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiat sebagaimana dalam tahap taubat inabah.
Taubat istijabah ketika seseorang lebih merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya daripada panas api neraka-Nya. Yang membuat seseorang tersiksa ialah betapa pedihnya jika terbebani rasa malu yang amat dalam terhadap Allah SWT.
Mestinya ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah SWT dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya tetapi malah melakukan dosa dan maksiat. Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinya karena tega melakukan sesuatu yang memalukan terhadap Tuhannya. Ketersiksaannya lebih berat daripada ia masuk ke dalam neraka.
Seandainya disuruh memilih disiksa secara fisik di neraka atau terbebani rasa malu terhadapTuhannya, ia akan memilih disiksa di neraka ketimbang bahagia sesaat di dunia.
Mungkin pertanyaan mendasar kepada diri kita, jenis taubat apa yang kita miliki? Apakah kita sudah melakukan penyesalan terhadap dosa dan maksiat yang telah kita lakukan? Apakah kita tergolong yang selalu membayangkan panasnya api neraka setelah melakukan dosa dan maksiat? Apakah sudah terbetik rasa malu kepada Allah SWT setelah kita melakukan dosa?
Apakah telah muncul penyesalan mendalam dan bertekad memutuskan segenap dosa dan maksiat langganan kita? Apakah kita telah mengganti langganan dosa dan maksiat itu dengan amal kebajikan? Atau kita sama sekali belum melakukan perubahan?
Tak terkecuali siapa pun di antara kita sepantasnya mengintip umur kita. Tandatanda ketuaan apa yang kita sudah miliki? Lihatlah anak-anak kita yang sudah mulai besar dan membutuhkan figur keteladanan orang tua, atau mungkin kita sudah punya cucu yang selalu mengidolakan kita. Lantas, apakah diri kita pantas diidolakan atau mereka semua terkecoh dengan topeng-topeng kepalsuan yang melekat di wajah kita?
Di depan mereka, kita malaikat, tetapi di luar sana kita iblis. Masyarakat modern sarat dengan tradisi hipokrasi dan kemunafikan. Hanya karena menginginkan jabatan atau harta maka di antara mereka tega mengorbankan musuh-musuhnya.