REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Selandia Baru mengumumkan larangan ekspor sapi hidup dan hewan ternak lainnya melalui jalur laut, Rabu (14/4). Menteri Pertanian Selandia Baru, Damien O’Connor mengatakan perlu waktu dua tahun untuk penerapan sepenuhnya kebijakan tersebut.
"Kami memberi kesempatan pada mereka yang telah berinvestasi dalam bisnis ini untuk mempersiapkannya," katanya, dilansir AP.
Selandia Baru untuk sementara telah menghentikan ekspor jalur laut tahun lalu setelah sebuah kapal yang membawa 5.800 ternak menuju China tenggelam dalam cuaca badai dekat Jepang. Kejadian tersebut menewaskan lebih dari 40 anggota awak kapal dan hewan-hewan.
Para pejabat telah memulai peninjauan ekspor hidup tahun sebelumnya. O’Connor mengatakan risiko reputasi negara dan keamanan mahluk hidup lebih besar daripada keuntungan finansial apa pun.
"Selandia Baru harus berada di depan dalam kesejahteraan hewan, maka pengawasan perlu ditingkatkan jika kita benar-benar ingin menjadi produsen makanan yang paling etis," katanya.
Nilai ekspor hewan hidup negara itu tahun lalu adalah 261 juta dolar Selandia Baru atau sekitar 184 juta dolar AS. Nilai tersebut meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya setelah eksportir bergegas pada potensi larangan.
Jumlah tersebut juga masih menyumbang hanya sebagian kecil dari keseluruhan ekspor pertanian nasional, yang merupakan penghasil pendapatan luar negeri terbesar. O'Connor mengatakan para pejabat telah memberi tahu China tentang rencana pelarangan tetapi belum mendengar tanggapan.
Dia mengatakan tidak khawatir menyinggung China, yang merupakan mitra dagang terbesar Selandia Baru dan pembeli besar ternak hidup. "Ini bukan tentang China. Ini tentang kesejahteraan hewan, kami memiliki hubungan yang bijak dengan mereka, dan saya yakin mereka memahami posisi kami," kata O'Connor.
Larangan tersebut tidak mempengaruhi hewan hidup yang diangkut melalui udara, seperti kuda pacuan. Federated Farmers yang merupakan kelompok lobi untuk peternak mengatakan para eksportirnya mematuhi standar kesejahteraan hewan yang sangat tinggi dan terkejut dengan larangan tersebut.
Namun, kelompok tersebut mengatakan masa transisi akan memberi petani kesempatan untuk menghormati komitmen yang ada dan mempertimbangkan pilihan masa depan mereka. Anggota parlemen oposisi Mark Cameron dari Partai Libertarian ACT mengatakan keputusan itu emosional, mahal dan merugikan bagi petani.
Kelompok hak asasi hewan SAFE, yang telah lama mendorong pelarangan menyambut baik berita tersebut. Kepala eksekutif SAFE, Debra Ashton mengatakan hewan tidak akan lagi menderita di negara dengan standar kesejahteraan yang lebih rendah.
Namun, Ashton mengatakan khawatir bahwa ratusan ribu sapi masih dapat diekspor melalui laut selama dua tahun ke depan. Ekspor hewan seperti ayam dan belut melalui udara akan terus berlanjut.