REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat Federasi Pekerja Seluruh Indonesia (DPP FPSI), melalui surat yang ditandatangani langsung Ihwansyah, SE Presiden dan Nanang S Sekjen melayangkan tiga surat serentak, ditujukan Presiden Republik Indonesia dengan nomor surat 21/B/DPP-FSPI/IV/2021, Ombudsman Republik Indonesia dengan nomor surat 23/B/DPP-FSPI/IV/2021 dan Komnas HAM Republik Indonesia dengan nomor surat 24/B/DPP-FSPI/IV/2021.
Lembaga yang berdiri dan terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja RI sejak 3 September 2001 ini mengirim surat dengan substansi menolak proses seleksi Komite BPH Migas periode 2021-2025 yang dilakukan Kementerian ESDM.
Berikut petikan suratnya:
Teruntuk Presiden Republik Indonesia, Ombudsman Republik Indonesia, maupun untuk Komnas HAM Republik Indonesia dengan opsi:
1. Agar membatalkan Proses seleksi komite saat ini dan membentuk Pansel baru yang kredibel dan independen yang dibentuk langsung oleh Presiden RI melalui Sekretariat Negara; dan
2. Agar Pansel Baru tidak mensyaratkan pelamar dengan batasan umur antara 40 sampai dengan 60 tahun dan tidak mensyaratkan pelamar memiliki pengalaman di bidang hilir Migas minimal selama 10 tahun. Karena tidak sesuai dengan “Penjelasan Pasal 47 Ayat 2 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan tenaga profesional dalam ketentuan ini adalah pihak-pihak yang mempunyai keahlian pengalaman dan pengetahuan yang dibutuhkan antara lain bidang perminyakan, lingkungan hidup, hukum, ekonomi dan sosial serta mempunyai integritas tinggi dalam melakukan tugas dan kewajiban.”
Sementara berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Ihwansyah menyatakan dasar pertimbangannya bahwa Proses Seleksi Komite BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Migas) Periode 2021-2025 yang dilakukan oleh Kementerian ESDM RI saat ini, menurut DPP FSPI janggal dan bermasalah:
1. Bahwa semua turunan Peraturan Perundang-undangan baik PP, Permen, Kepmen dan lainnya yang terkait BPH MIGAS haruslah konsisten sesuai UU
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang merupakan Peraturan di atasnya bukan malah mengebiri atau menganulir UU Migas.
2. Bahwa sesuai UU Migas Pasal 47 ayat 4 yang menyatakan BPH Migas bertanggungjawab langsung kepada Presiden, kenapa di PP 67/2002 Pasal 8 ayat 2 membuat aturan baru dimana BPH Migas harus melaporkan ke Presiden melalui Menteri ESDM tiap per 6 bulan. Ini adalah bentuk upaya pengerdilan BPH Migas agar bisa diatur oleh Kementerian ESDM. Apalagi sesuai Perpres No. 68 Tahun 2015 bahwa bahwa BPH Migas bukanlah Satker atau bagian dari Kementerian ESDM. Juga dalam PP 67/2002 Pasal 2 Ayat 2 bahwa BPH Migas keputusannya bersifat INDEPENDEN. Kalaupun hal tersebut di atas dianggap boleh maka konteksnya hanya untuk pelaporan tertulis saja, bukanlah PP tersebut menjadi dasar bahwa SELEKSI Komite menjadi Tusi (Tugas Fungsi) nya Menteri ESDM atau Kementerian ESDM;