REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menolak laporan bank Julius Baer's Global Wealth and Lifestyle Report 2021 yang menobatkan Jakarta ke dalam peringkat 20 dari 25 kota termahal dunia.
Menurut Yayat, sejumlah barang yang dinilai mahal dalam laporan tersebut bukan barang-barang kebutuhan dasar bagi masyarakat Jakarta. Melainkan barang yang umumnya diimpor, sehingga menjadi mahal karena terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Contohnya saja, barang elektronik, minuman beralkohol, tas wanita, hingga mobil yang membuat Jakarta menjadi kota mahal untuk membeli barang tersebut.
"Untuk kelas menengah Jakarta mungkin butuh barang itu untuk 'update' status sosial. Kelihatannya mahal, tapi kalau dari segi biaya hidup, belum tentu Jakarta menjadi kota termahal," kata Yayat.
Yayat menjelaskan apabila dibandingkan dengan Jakarta, banyak kota besar lainnya yang lebih mahal dari segi gaya hidup, seperti Singapura dan Tokyo, Jepang. Jika dilihat dari harga kebutuhan pokok, seperti makanan hingga biaya transportasi, Jakarta bukanlah kota mahal.
Selain biaya hidup, pendapatan pekerja juga menjadi tolok ukur mahal atau tidaknya sebauh kota. Begitu juga dengan tingkat inflasi dan produktivitas atau nilai pendapatan yang identik dengan daya beli masyarakat.
Sebagai informasi, selain Jakarta, kota yang dinobatkan sebagai kota termahal di dunia adalah Shanghai dalam urutan pertama. Kota termahal selanjutnya, yakni Tokyo, Hong Kong, Monaco, dan Taipei.