REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menindaklanjuti adanya keluhan terkait pasokan gula rafinasi di Jawa Timur (Jatim). Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rochim mengatakan, pihaknya bakal menurunkan tim untuk melakukan pengecekan langsung.
Pernyataan Kemenperin tersebut untuk menanggapi keluhan yang sebelumnya disampaikan Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) KH Muhammad Zakki. Zakki dalam sebuah diskusi mengkiritisi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Menurut Zakki, Permenperin tersebut membuat stok gula di Jawa Timur langka sehingga merugikan industri makanan dan minuman (mamin).
Abdul Rochim menyatakan, saat ini stok gula berlimpah. Sehingga, isu kelangkaan gula, khususnya bagi sektor industri perlu dibuktikan. "Sangat mencukupi karena (gula rafinasi) didistribusikan berdasarkan kebutuhan," kata Abdul dalam keterangannya, Kamis (15/4).
Sejauh ini, kata dia, pihaknya juga belum menerima laporan kekurangan gula rafinasi dari pelaku industri yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi). Namun, sebagai tindak lanjut dari keluhan APEI, Abdul Rochim menyatakan Kemenperin akanmenurunkan tim guna mengecek langsung unit usaha pengguna gula rafinasi milik ketua APEI yang selama ini mengeluhkan kelangkaan gula tersebut.
Ia mengatakan, tim tersebut juga akan dibantu oleh Sucofindo dan BPPT. "Kita juga sudah kirimin surat untuk selesaikan dengan yang di Jatim," ungkapnya.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin, Supriadi, menjelaskan, Permenperin Nomor 3 Tahun 2021 merupakan kebijakan pengaturan produksi pada pabrik gula sebagai upaya untuk memenuhi gula untuk kebutuhan konsumsi dan gula untuk kebutuhan industri dalam hal ini makanan, minuman dan farmasi. Menurut dia, ada tiga poin penting di dalam peraturan tersebut.
Pertama, penertiban dalam produksi gula pada pabrik gula untuk mengurangi potensi kebocoran atau rembesan gula Hal ini sesuai dengan Keppres 57 Tahun 2004 yaitu penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan, seperti gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP).
Pada 2021, kebutuhan gula nasional sekitar 5,9 juta ton (industri 3,1 juta ton dan konsumsi 2,8 juta ton). Sementara produksi dalam negeri hanya 2,15 juta ton gula kristal putih (GKP), sehingga masih harus impor 3,76 juta ton (industri 3,1 juta ton dan konsumsi 647 ribu ton), setara dengan 3,99 juta ton raw sugar/GKM.
Kedua, dengan adanya peraturan ini, pabrik gula (PG) dapat berproduksi sesuai dengan bidang usahanya masing-masing. Pabrik gula rafinasi (PGR) memproduksi GKR untuk melayani industri mamin dan farmasi, sedangkan PG berbasis tebu memproduksi GKP untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebagai upaya mencapai swasembada gula nasional.
PGR tidak boleh memproduksi GKP untuk konsumsi, begitu juga PG basis tebu tidak boleh memproduksi gula industri/GKR, sehingga masing-masing fokus pada produksinya.
Ia menambahkan, adanya Permenperin Nomor 3 Tahun 2021 akan menjamin ketersediaan gula konsumsi atau GKP untuk kebutuhan konsumsi masyarakat dan gula industri atau GKR sebagai bahan baku/bahan penolong industri makanan, minuman dan farmasi. Ketersediaan gula konsumsi (GKP) akan dipenuhi oleh PG berbasis tebu, dengan bahan baku tebu maupun bahan baku raw sugar impor (yang dihitung dari defisit neraca gula konsumsi nasional).
Sedangkan, ketersediaan gula industri (GKR) akan dipenuhi oleh PGR yang berbahan baku raw sugar impor karena produksi gula di dalam negeri belum dapat mencukupi kebutuhan industri mamin dan farmasi.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement