REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB – Ribuan warga sipil yang mengungsi di kamp-kamp Idlib, barat laut Suriah menyambut Ramadhan dengan kesengsaraan. Terlebih, keadaan mereka diperburuk oleh konflik yang terjadi lebih dari sepuluh tahun.
Mereka masih mengalami kemiskinan di tengah pengangguran yang meluas. Situasi tersebut memperburuk kondisi keluarga Suriah selama bulan Ramadhan terutama keluarga pengungsi yang tinggal di Idlib. Mereka kekurangan sumber pendapatan untuk mempersiapkan Ramadhan.
Um Khader dan keluarganya melarikan diri dari daerah pedesaan Hama tiga tahun lalu karena serangan lanjutan oleh pasukan rezim Bashar al-Assad. Sekarang mereka tinggal di kamp Atimah di Idlib. Khader mengatakan suaminya tidak bisa bekerja setelah tulang belakangnya dipukul.
“Anak-anak saya tidak makan daging selama tiga tahun. Kami tidak melakukan persiapan apa pun untuk Ramadhan kecuali doa kami,” kata Khader, dilansir Anadolu Agency, Jumat (16/4).
Pengungsi lain, Khalid Sheiban mengatakan harga semua barang telah melonjak yang membuat sebagian besar pengungsi tidak mampu membeli kebutuhan pokok. Kondisi ini sama seperti Ramadhan tahun lalu.
“Kondisi kehidupan di sini tidak baik. Situasi keuangan kami buruk,” ujar dia.
Pedagang sayur dari kota Saraqib yang menjual sayur di kamp Atimah, Emad Khalid mengatakan sebagian besar penduduk kamp ttidak memiliki daya beli. Sebab, mereka kebanyakan menganggur dan kekurangan uang.
“Semoga Allah membantu para penghuni kamp. Saya berharap mereka dapat segera kembali ke tempat semula, di desa-desa mereka,” ucap dia.
Sebagian besar penghuni kamp berbuka puasa selama Ramadhan dengan sedikit makanan dan tidak bisa membeli daging.
Pada Mei 2017, Turki, Rusia dan Iran mengumumkan kesepakatan “zona de-eskalasi” sebagai bagian dari pembicaraan di Astana, Kazakhstan. Zona de-eskalasi mencakup provinsi Idlib, daerah Latakia, Hama dan Aleppo, daerah pedesaan utara provinsi Homs, Ghouta timur dan Al-Qunaitra dan Daraa di Suriah selatan.
Pasukan rezim dan kelompok pro-Iran, bagaimanapun melancarkan serangan di daerah tersebut dan menguasainya di bawah perlindungan udara dari Rusia. Pada Mei 2019, Turki dan Rusia menandatangani perjanjian di Moskow untuk gencatan senjata baru pada Maret 2020.