Jumat 16 Apr 2021 07:13 WIB

Laporan PBB: Kekerasan Seksual Jadi Senjata Perang di Tigray

Krisis kemanusiaan di Tigray kian memburuk selama sebulan terakhir.

Rep: Rizky Jaramaya/Dwina/ Red: Teguh Firmansyah
 Gambar yang dibuat dari video tak bertanggal yang dirilis oleh Kantor Berita Ethiopia milik negara pada Senin, 16 November 2020 menunjukkan militer Ethiopia berkumpul di jalan di daerah dekat perbatasan wilayah Tigray dan Amhara di Ethiopia. Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengatakan dalam sebuah posting media sosial pada hari Selasa, 17 November 2020 itu
Foto: AP/Ethiopian News Agency
Gambar yang dibuat dari video tak bertanggal yang dirilis oleh Kantor Berita Ethiopia milik negara pada Senin, 16 November 2020 menunjukkan militer Ethiopia berkumpul di jalan di daerah dekat perbatasan wilayah Tigray dan Amhara di Ethiopia. Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengatakan dalam sebuah posting media sosial pada hari Selasa, 17 November 2020 itu

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA -- Kepala bantuan PBB Mark Lowcock mengatakan, kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang di wilayah Tigray, Ethiopia. Dia mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa krisis kemanusiaan di Tigray telah memburuk selama sebulan terakhir, dan belum ada bukti bahwa pasukan Eritrea telah ditarik dari wilayah tersebut.

"Konflik belum berakhir dan beberapa hal tidak membaik," ujar Lowcock.

Lowcock mengatakan, anak-anak berusia delapan tahun menjadi sasaran kekerasan seksual di Tigray. Bahkan beberapa perempuan dilaporkan telah diperkosa secara bergilir dalam beberapa hari terakhir. Lowcock menambahkan, kasus pemerkosaan dilakukan oleh pria berseragam.

"Kekerasan seksual digunakan dalam konflik ini sebagai senjata perang. Hampir seperempat laporan yang diterima pemerkosaan dilakukan secara berkelompok, dalam beberapa kasus seorang wanita telah berulang kali diperkosa selama beberapa hari. Anak perempuan berusia delapan tahun juga menjadi sasaran," ujar Lowcock.

Lowcock menambahkan, akses kemanusiaan di Tigray menjadi masalah besar. Pada Kamis (15/4) pagi, dia menerima laporan bahwa 150 orang telah meninggal dunia karena kelaparan.

"Ini seharusnya membuat kita semua waspada. Itu adalah tanda dari apa yang akan terjadi, jika tidak ada tindakan yang diambil. Kelaparan sebagai senjata perang adalah pelanggaran," kata Lowcock.

Pejabat tinggi kesehatan masyarakat untuk pemerintahan sementara di Tigray, Fasika Amdeselassie mengatakan kepada Reuter, sedikitnya ada 829 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan di lima rumah sakit sejak konflik dimulai. Sementara Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan, sudah waktunya Dewan Keamanan berbicara dengan satu suara tentang Tigray.

Sejauh ini, Dewan Keamanan belum mengeluarkan pernyataan tegas terkait konflik di Tigray. Negara-negara Barat berhadapan dengan Rusia dan China terkait bagaimana menangani situasi tersebut.

"Krisis ini menuntut perhatian dan tindakan kami," kata Thomas-Greenfield.

Misi Eritrea PBB di New York tidak segera menanggapi permintaan komentar atas pernyataan Lowcock. Bulan lalu, Menteri Informasi Eritrea Yemane Gebremeskel mengatakan bahwa, kekerasan seksual dan pemerkosaan adalah kekejian bagi masyarakat Eritrea dan harus dihukum berat jika itu terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement