REPUBLIKA.CO.ID, MEXICO CITY -- Pihak berwenang Meksiko telah menuntut 30 marinir karena diduga berpartisipasi dalam serangkaian penghilangan paksa di kota perbatasan utara Nuevo Laredo yang penuh kekerasan pada 2018. Kantor Kejaksaan Agung mengatakan pada Kamis (15/4), jaksa memiliki waktu enam bulan untuk melakukan penyelidikan terhadap 30 marinir yang ditangkap.
"Dari Februari hingga Mei 2018 di Nuevo Laredo, Tamaulipas, ada serangkaian konfrontasi kekerasan yang menyebabkan berbagai pengaduan penghilangan paksa, yang terkait dengan elemen Angkatan Laut Meksiko," kata pernyataan Kejaksaan Agung.
Angkatan laut, bersama dengan tentara, telah memainkan peran kunci dalam tindakan keras pemerintah untuk memerangi kartel narkoba, yang dimulai pada 2006. Keterlibatan militer telah menyebabkan munculnya laporan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Salah satunya termasuk tuduhan hilangnya 40 orang pada periode Februari hingga Mei 2018 di Nuevo Laredo. Area tersebut telah lama menjadi titik perang wilayah antara kartel narkoba.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia pada saat itu, Zeid Ra'ad al-Hussein, mengecam kejahatan tersebut. Dia menyebut kejahatan itu sangat "mengerikan" karena kasus orang hilang juga menimpa lima anak di bawah umur.
Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez Obrador telah membentuk pasukan polisi militer yang dikenal sebagai Pengawal Nasional. Pasukan ini terdiri dari sebagian tentara, untuk memimpin perang melawan kejahatan terorganisir.
Lopez Obrador telah menempatkan militer yang bertanggung jawab atas pelabuhan, penerbangan sipil, vaksinasi Covid-19, dan proyek infrastruktur, termasuk bandara baru untuk melayani Kota Meksiko dan bagian dari kereta api wisata. Lopez Obrador juga mendukung keputusan untuk menghentikan penyelidikan terhadap mantan menteri pertahanan Salvador Cienfuegos, yang ditangkap Amerika Serikat atas tuduhan bekerja sama dengan kartel narkoba yang kuat.