REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan traveller.
“Selesai ini, mau langsung lanjut S2?” tanya saya.
“Tidak, Mbak. Saya mau pulang dulu. Saya dibutuhkan di kampung. Masih banyak yang buta huruf Alqur’an dan belum tersentuh Islam,” jawabnya tenang, namun membuat hati saya tercubit saat mendengarnya.
Anak ini pintar. Bukan hal sulit baginya untuk melanjutkan beasiswa S2. Apalagi kampusnya di Timur Tengah itu terkenal gampang memberikan beasiswa lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun, dengan kesadarannya sendiri, ia memilih pulang. Untuk segera berdakwah, menjawab kebutuhan umat.
Tak banyak anak muda yang dengan kesadaran sendiri memilih sejenak “melepas” impian setinggi langit, untuk berbuat nyata di tengah umat. Di saat sebayanya berlomba membangun menara gading, untuk menunjukkan kualitas intelektual dan kehebatannya.
Sejarah mencatat, seorang tokoh besar di Indonesia pernah melakukan hal serupa: M Natsir.
Selepas AMS (SMA), sedianya ia bisa melanjutkan pendidikan ke Rechtsschool untuk mendapat gelar Meester in Rechten (Mr) atau sarjana hukum.
Namun dengan sepenuh hati, ia lebih memilih mengabdikan diri menjadi guru MULO (SMP) tanpa digaji. Sekalipun itu harus bertentangan dengan ayahnya. Karena baginya, saat itu umat dalam belenggu kebodohan, hanya melalui pendidikan mereka bisa melepaskan diri dari penjajahan.
Dalam catatan Ajib Rasyidi, seandainya Pak Natsir mau menjadi pegawai Belanda pada waktu itu, setidaknya ia akan mendapat gaji 50 gulden atau sekitar Rp15 juta per bulan.
Sekalipun tak bergelar sarjana, namun kualitas keilmuwan Pak Natsir tak diragukan. Saat AMS (SMA) ia telah membaca 20 buku karya sastra dunia. Untuk menempuh ujian kelulusan, ia harus menyelesaikan 30 buku dalam berbagai bahasa dunia.
Jalan perjuangan, sekalipun berat, namun terasa indah. Pikiran dan hati Pak Natsir semua tercurah untuk umat, hingga akhir hayat.
Salah satu ucapannya yang sangat terkenal, “Dulu kita berdakwah dengan politik, kini kita berpolitik dengan dakwah.”
Di akhir kisah, jalan dakwah yang dipilihnya adalah melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang mencetak para da’i. Mereka ini kemudian dikirim ke perbatasan dan daerah-daerah terpencil untuk menghadirkan pelita pada umat.
Pendidikan adalah kunci untuk menyelamatkan umat dari kejumudan menuju cahaya hidayah dan ilmu pengetahuan.
Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Manusia Mulia itu adalah pribadi pembelajar. Tak hanya mengajarkan ilmu pada para sahabat, Namun, Rasulullah SAW juga senantiasa belajar pada malaikat Jibril, utamanya di bulan Ramadhan.
Maka bernarlah perkataan Imam Syafi’i yang masyhur, “Ilmu bukan seberapa banyak yang dimiliki, namun seberapa banyak yang Engkau bagikan.”
Pada para pembawa pelita, umat berharap banyak…