REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan lampu hijau untuk menempatkan 60 pemantau gencatan senjata ke Libya. PBB juga meminta pemerintahan persatuan yang baru untuk mempersiapkan pemilihan umum yang bebas, adil, dan inklusif pada 24 Desember.
Gencatan senjata di Libya telah diadakan sejak Oktober, tetapi jalan utama yang melintasi garis depan dari Sirte ke Misrata tetap ditutup. Pada Jumat (16/4), Dewan Keamanan dengan suara bulat menyetujui proposal Sekretaris Jenderal Antonio Guterres untuk penempatan pengawas gencatan senjata.
"Para pengawas akan dikerahkan ke Sirte setelah semua persyaratan untuk kehadiran permanen PBB telah dipenuhi, termasuk aspek keamanan, logistik, medis dan operasional," tulis Guterres kepada Dewan Keamanan pada 7 April.
Resolusi yang diserukan Dewan Keamanan adalah pembentukan unit pengawasan gencatan senjata. Unit ini akan diisi oleh 60 anggota misi PBB di Libya yang disebut UNSMIL.
Pemerintahan persatuan Libya disahkan pada 15 Maret. Pemerintahan ini terdiri dari dua pihak yang bertikai yang menguasai wilayah timur dan barat. Libya mengalami kekacauan setelah penggulingan pemimpin Muammar Gaddafi yang didukung NATO pada 2011. Kemudian pada 2014, Libya terbagi antara dua faksi yaitu Government of National Accord(GNA) yang diakui secara internasional dan berbasis di wilayah barat, dan pasukan Libyan National Army (LNA) yang berbasis di timur serta dipimpin oleh pemberontak Khalifa Haftar.
Haftar didukung oleh Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia, sedangkan GNA didukung oleh Turki. Kedua kubu, masing-masing didukung oleh kekuatan asing, bertempur selama lebih dari setahun sebelum Haftar terpaksa mundur. Pada bulan Oktober mereka menyetujui gencatan senjata, dan memulai pemerintahan transisi baru pada Februari yang dijembatani oleh PBB.
Dewan Keamanan mendesak kepada negara-negara pendukung para faksi untuk menghormati dan mendukung gencatan senjata. PBB mengimbau agar semua pasukan asing serta tentara bayaran ditarik dari Libya tanpa penundaan, dan menuntut kepatuhan penuh dengan embargo senjata di Libya.
Tentara bayaran Wagner Rusia, yang dikirim ke Libya untuk mendukung Haftar telah menarik diri dari Tripoli pada tahun lalu. Namun mereka tetap bercokol di sekitar Sirte dan wilayah lainnya. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, pemerintah tidak menempatkan tentara bayaran di Libya.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, kehadiran tentara Turki dan tentara bayaran dari Rusia, Suriah, Chad dan Sudan di Libya tetap menjadi perhatian besar. Tapi untuk misi pengawas PBB, yang tidak bersenjata fokusnya adalah pada gencatan senjata.