REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengungkapkan, penelitian vaksin Nusantara dipicu dari keinginan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar vaksin Covid-19 dapat menyasar semua kelompok. Menurutnya, vaksin berbasis sel dendritik inilah jawaban dari keinginan tersebut.
"Peneliti tertantang mencoba cari tahu pakai format apa bisa menjawab keinginan mulia Presiden ini, untuk coba membuat vaksin yang bisa menjawab kebutuhan dari banyak rakyat Indonesia," ujar Melki dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (17/4).
Melki mengatakan, pengembangan dan penelitian vaksin Nusantara ini memang sengaja dilakukan secara senyap sebagai jawaban untuk menjawab keinginan Jokowi itu. Namun ketika dikomunikasikan dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ia mengatakan ada ketidakharmonisan antara kedua pihak.
"Kesan saya antara peneliti dan BPOM ini tidak harmonis komunikasinya, karena menurut peneliti sudah menyampaikan data informasi yang diminta. Menurut BPOM belum sesuai yang mereka harapkan dan yang mereka rekomendasikan," ujar Melki.
Adanya ketidakharmonisan dalam komunikasi tersebut, Komisi IX menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan BPOM, penggagas vaksin Nusantara Terawan Agus Putranto, dan peneliti lain pada Rabu (10/3). RDP tersebut, berlangsung hampir selama 12 jam.
Dalam RDP tersebut, menyimpulkan bahwa BPOM diminta untuk mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II vaksin Nusantara selambat-lambatnya pada 17 Maret 2021. Namun hingga saat ini, izin tersebut belum dikeluarkan karena sejumlah hal.
"Ketika Bu Penny sebagai Kepala Badan POM menjelaskan kepada publik kan mendramatisasi seolah-olah ini (vaksin Nusantara) berbahaya, dengan 71 persen dia gambarkan itu berisiko dan sebagainya. Kan itu sudah kita bahas di DPR RI dan tidak ada masalah," ujar Melki.
Setelah pernyataan BPOM yang tak mengizinkan vaksin Nusantara untuk dilanjutkan ke tahap II uji klinis, Melki mengaku langsung berkomunikasi dengan para peneliti. Ia menyebut para peneliti nelongso atau sedih.
"Mereka (peneliti) bilang gini, 'kok bisa ya Kepala Badan POM itu menipu publik ya, data yang kami berikan A dibilang menjadi B', gitu loh dan membuat publik menjadi khawatir dengan vaksin Nusantara, ini bisa masuk kategori pembohongan publik," ujar politikus Partai Golkar itu.