REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kompak menyatakan kerumunan yang terjadi di sekitar simpang Gadog Puncak, Bogor hingga Pondok Pesantren Markaz Syariah Megamendung bukan karena undangan dari pihak penyelenggara acara. Saksi yang merupakan unsur pemerintah di Bogor itu menyatakan warga secara spontan mendatangi lokasi acara karena ingin menyambut Habib Rizieq Shihab (HRS).
"Jadi kalau sepengetahuan saya, yang saya lihat di Gadog mereka ini datang spontan dari mana-mana. Ada yang plat nomornya A, B, T ya mereka hetegoren. Kebanyakan naik motor dan jalan kaki," kata Kepala Bidang Penertiban Umum Satpol PP Kabupaten Bogor Teguh Sugiarto di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (19/4).
Hal senada diakui para saksi lain, di antaranya Kasie Trantib Satpol PP Bogor Iwan Relawan, Camat Megamendung Endi Rismawan, dan Kepala Satpol PP Kabupaten Bogor Agus Ridhallah. Para saksi ini hadir pada saat kejadian di Megamendung.
Awalnya, HRS bertanya kepada para saksi soal awal mula dan proses terjadinya kerumunan pada 13 November 2020 tersebut. "Apakah para saksi tahu kalau whatsapp undangan menyebar di kalangan masyarakat? Atau hanya dari internal pemerintahan?" tanya HRS pada para saksi. Para saksi kompak menjawab tidak mengetahui.
HRS juga menanyakan awal mula pemerintah tahu akan terjadi kerumunan, termasuk gonjang ganjing isu kerumunan di lingkungan masyarakat. "Tidak tahu," jawab para saksi.
Namun, saksi Teguh Sugiarto menambahkan, pihaknya hanya mengantisipasi mengingat adanya kerumunan saat HRS tiba di Jakarta pada 10 November 2020. "Masalah ada atau tidak itu antisipasi saja," katanya.
Teguh kemudian membantah kerumunan yang terjadi di Gadog disebabkan oleh undangan yang tersebar. Menurut dia dan para saksi lain, kerumunan terjadi karena spontanitas dan keinginan masyarakat untuk menyambut HRS.
Soal adanya undangan melalui selebaran dan spanduk, para saksi juga kompak menjawab tidak ada. "Tidak ada (selebaran), tidak ada undangan. Yang spanduk tulisannya hanya ahlan wa sahlan HRS, bukan undangan," kata para saksi. Dengan pernyataan tersebut, HRS menyimpulkan jika kerumunan terjadi karena pesan WhatsApp dan media sosial. Hal itu, juga dibenarkan oleh para saksi.
Ketua Majelis Hakim kemudian bertanya apakah HRS masih perlu menyangkal para saksi. Menurut HRS, jawaban dari para saksi sudah sesuai. "Sebelumnya, pernyataan saksi tidak umum dan tidak jelas, tapi setelah saya tanyakan langsung sudah jelas," kata HRS.
Keterangan para saksi memang terkesan tidak konsisten selama persidangan. Sebelumnya, Camat Megamendung, Endi Rismawan mengatakan, seharusnya perlu pengajuan izin dari pihak pelaksana kegiatan peletakan batu pertama. Dalam surat izin tersebut, kata dia, perlu juga dijelaskan siapa yang bertanggung jawab. "Saya tidak tahu siapa pelaksananya," kata dia.
Namun, ketika ditanya JPU apakah HRS harus bertanggung jawab saat panitia pelaksana tidak diketahui, Endi menjawab singkat. "Iya," katanya. Majelis hakim kemudian menegur jaksa agar tidak memaksakan atau mengarahkan saksi menjawab hal yang belum pasti diketahuinya. "Jangan seperti itu, karena camat ini orang luar dari pondok," kata hakim.
HRS kemudian mempertanyakan soal izin yang disebut Endi karena pembangunan itu baru seremonial peletakan batu pertama. "Kalau sudah mau dibangun, ada biayanya tentu kami ajukan izin pembangunan," kata HRS yang kemudian dibenarkan Endi.
Lebih jauh HRS mempertanyakan apakah kegiatan internal harus mendapatkan izin dari camat setempat atau tidak. "Tidak perlu, kalau eksternal perlu izin," ujar Endi. Semua kegiatan di Megamendung yang berkaitan dengan Pondok Pesantren Markaz Syariah, kata HRS, adalah kegiatan internal karena memang tidak ada panitia.
HRS kemudian menegaskan kepada para saksi, siapa yang diperkarakan dalam laporan itu. "Apakah hanya untuk memenjarakan saya saja? Kenapa tidak ada surat pemberitahuan? Kenapa tidak didenda seperti di Petamburan, kenapa harus pidana? Adakah pihak yang tertekan karena itu?" tanya HRS.
Kepala Satpol PP Kabupaten Bogor Agus Ridhallah mengaku pelaporan itu sesuai dengan hasil rapat satgas Covid-19 Bogor. Namun demikian, pihaknya mengaku tidak melaporkan HRS. "Bukan lapor HRS, tapi kerumunan massanya," jelas Agus.
Pengacara HRS, Sugito Atmo mengatakan, keterangan para saksi fakta dari JPU inkonsisten. Menurut dia, Agus Ridhallah dan lainnya pada 1 Desember lalu menyebut yang bertanggung jawab adalah panitia pelaksana peletakan batu pertama di Pesantren Markaz Syariah. Namun demikian, seiring waktu sejak 28 Januari hingga kini, para saksi, malah menyebut pemilik pondok pesantren. "Dalam hal ini adalah HRS," kata dia.