REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menjelaskan sejumlah alasan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK) belum diputus dan terkesan lama. Salah satu alasannya, proses persidangan memang cukup panjang dan memerlukan waktu.
"Pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan yang panjang dengan agenda sebagaimana yang dikehendaki para pemohon, misalnya untuk menghadirkan ahli dan/atau saksi," ujar Fajar saat dikonfirmasi Republika, Selasa (20/4).
Ia menerangkan, berdasarkan risalah persidangan, sekurang-kurangnya telah digelar 12 kali persidangan sepanjang Desember 2019 sampai 23 September 2020. Dalam risalah persidangan 23 September 2020, MK menentukan batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak pada 1 Oktober 2020.
Usai persidangan perkara gugatan UU KPK selesai, MK melakukan pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun, kata Fajar, pembahasan belum usai, MK sudah harus memasuki masa penanganan perselisihan hasil pilkada yang dimulai 23 Desember 2020.
Perkara perselisihan hasil pilkada pun harus selesai dalam jangka waktu 45 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Dengan demikian, MK fokus dan berkonsentrasi penuh mengadili perkara perselisihan hasil pilkada.
Total ada 136 perkara perselisihan hasil pilkada telah diselesaikan MK sesuai dengan ketentuan hingga 15 April 2021. Sedangkan, perkara pilkada Kabupaten Sabu Raijua yang baru belakangan dimohonkan sudah selesai pada pekan kemarin.
Fajar menjelaskan, setelah menuntaskan perkara perselisihan hasil pilkada, pemeriksaan perkara pengujian undang-undang kembali dilanjutkan. Perkara yang masih dalam tahapan persidangan maupun perkara yang sudah masuk tahapan pembahasan dalam RPH, termasuk UU KPK.
MK sudah melakukan pembahasan perkara UU KPK dalam RPH dalam jangka kurang dari tiga bulan. Ini dihitung sejak 1 Oktober 2020, batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak, sampai sekitar 23 Desember 2020, awal masa gugus tugas penanganan perkara perselisihan hasil pilkada.
"Jangka waktu tersebut masih dalam batas kewajaran mengingat isu konstitusional perkara a quo membutuhkan konsentrasi, kecermatan, kehati-hatian, serta diskusi berbobot di antara Hakim Konstitusi di dalam RPH," kata Fajar.
Dengan demikian, menurutnya, proses penyelesaian perkara UU KPK yang terkesan lama belum kunjung selesai sebetulnya disebabkan karena proses persidangan yang memang panjang sesuai dengan kebutuhan perkara, pembahasan perkara dalam RPH yang membutuhkan konsentrasi, kecermatan, dan kehati-hatian, dan jeda pembahasan perkara karena agenda MK melaksanakan kewenangan memutus perselisihan hasil pilkada serentak tahun 2020.
Ia mengeklaim, hal tersebut dilaksanakan secara patut, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. MK saat ini sedang melanjutkan RPH pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap sebanyak tujuh perkara terkait UU KPK.
"Mohon dukungan semua pihak, agar MK semakin fokus dan berkonsentrasi memutus perkara a quo dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi," tutur Fajar.