Jumat 23 Apr 2021 04:09 WIB

Kegagalan AS di Afghanistan dan Ancaman China

AS kini harus fokus terhadap China yang menjadi sebuah ancaman nyata.

 Abdullah Abdullah, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional, kanan tengah, berjalan bersama Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, di Istana Sapidar di Kabul, Afghanistan, Kamis, 15 April 2021.
Foto: AP/Sapidar Palace
Abdullah Abdullah, Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsiliasi Nasional, kanan tengah, berjalan bersama Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, di Istana Sapidar di Kabul, Afghanistan, Kamis, 15 April 2021.

Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, AS memutuskan untuk hengkang dan menarik bertahap seluruh sisa pasukannya dari Afghanistan terhitung awal Mei. Tenggat penarikan pasukan terakhir, yakni pada 11 September. Tanggal itu persis saat World Trade Centre di New York dihancurkan oleh gerakan yang disebut Alqaidah.

Keputusan Presiden AS Joe Biden sejalan dengan pendahulunya Donald Trump yang juga ingin segera menarik pasukannya dari Afghanistan. Namun, Trump tak berhasil sampai masa kepemimpinannya habis.

Ada dua hal yang dapat dilihat dari mundurnya pasukan AS tersebut. Pertama, pandangan secara umum bahwa AS telah gagal atau boleh dibilang kalah dalam pertempuran panjang di negara tersebut.

AS memang berhasil meruntuhkan Taliban yang dianggap melindungi Usamah bin Ladin pada 2001 silam. Dalam waktu sepekan, pemerintahan Taliban jatuh. Namun, AS dan pasukan asing tidak mampu menyingkirkan seluruh kekuatan Taliban.

Gerakan ini bergerilya melancarkan beragam serangan yang memicu ketikdastabilan di Afghanistan. Serangan dilancarkan terhadap pos-pos pasukan asing, dan mereka yang dianggap pro-Barat.

Strategi desa mengepung kota dilancarkan oleh Taliban. Meski kota-kota besar banyak dikuasai pemerintahan Afghanistan saat ini yang didukung oleh Barat, tapi di daerah-daerah pedesaan Taliban masih mencengkeram kuat.

Inilah yang memicu kekhawatiran jika pasukan asing hengkang, apakah pemerintahan sekarang mampu bertahan dari gempuran Taliban? Sejumlah warga di kota-kota besar juga khawatir, Afghanistan akan kembali ke pemahaman Keislaman kaku yang pernah diterapkan sebelumnya.  

Upaya AS untuk mendamaikan faksi Taliban dan pemerintahan saat ini boleh dibilang belum berhasil. Usaha tersebut justru terlihat seolah AS telah 'menelan ludahnya sendiri'. Mengapa demikian? Karena, AS yang menjatuhkan Taliban, dan kini Paman Sam juga yang ingin mengajukan perdamaian.

Taliban pun seperti sedang mendapat angin segar. Mereka enggan untuk berdialog sampai pasukan asing hengkang dari Afghanistan. Terakhir, mereka mengaku tak akan hadir pada pertemuan di Turki yang akan digelar pada 24 April mendatang.  

Kemudian, hal kedua yang dapat dilihat dari penarikan pasukan AS adalah strategi baru Paman Sam. AS mungkin mulai melihat sudah tidak ada untungnya lagi terlibat dalam pertempuran panjang yang pernah dihadapi negara itu. Bagi AS, misi untuk menghancurkan Alqaidah dan pimpinannya Usamah bin Laden telah usai. Usamah bin Ladin telah terbunuh dalam sebuah operasi di Pakistan pada 2011 silam.

Dari sisi biaya, pertempuran ini juga merogoh kocek yang sangat besar. Penelitian dari Brown University mengungkapkan, perang selama dua dekade telah menghabiskan 2,26 triliun  dolar AS. Jumlah ini akan terus meningkat jika AS tidak hengkang segera.

Kini AS juga sudah melihat musuh baru yang mengancam langsung kedigdayaan mereka di dunia. Musuh itu adalah China.  Presiden Joe Biden pun mengamini bahwa China telah menjadi ancaman nyata. Kemampuan China dari sisi ekonomi maupun pengaruh perlahan kini mulai mampu menyaingi Amerika Serikat.

China bermali-kali tak gentar meski dijatuhkan sanksi oleh AS dan sekutunya. Alih-alih mundur mereka justru membalas sanksi yang diberikan. China juga memiliki pengaruh cukup kuat di kawasan Asia dan Afrika.

Dengan kebijakan Belt and Road Initiative, China menggelontorkan dana tak sedikit untuk membangun infrastruktur ke hampir 70 negara. Bantuan itu memang tak gratis, ada harga yang harus dibayar. Bahkan, sejumlah analisis menganggap ini sebagai 'jebakan utang' ke sejumlah negara-negara tak mampu. Dengan demikian, China kian menancapkan kuku-kukunya di negara tersebut.

Dari sisi geopolitik kawasan, China kini sudah masuk dalam tahapan ekspansif. Mereka berkali-kali mengirimkan kapalnya ke wilayah sengketa di Laut China Selatan. Terakhir, Filipina yang merupakan sekutu AS dibuat geram oleh kapal-kapal China yang memasuki wilayah mereka.

China juga semakin mencengkeram kuat Hong Kong. Aktivis dan politikus yang selama ini cenderung pro-Barat disingkirkan. Para aktivis dipenjara dengan UU Keamanan Nasional yang baru. China juga menerapkan UU Pemilu baru sehingga hanya pro-Beijing yang bisa terpilih memimpin Hong Kong.  

China pun bukan tak mungkin menginvasi Taiwan yang merupakan sekutu AS dalam waktu dekat. Indikasi itu terlihat dari semakin gencarnya militer China melakukan latihan atau manuver di dekat perairan dan wilayah udara Taiwan.

Bagi China, Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya. Mereka mengaku memiliki hak atas Taiwan.

Amerika Serikat telah membantu Taiwan dengan pasokan senjata. Namun apakah AS akan mengirimkan pasukan saat Taiwan diserang, hal itu belum tentu mengingat cost-nya yang sangat besar. Pastinya, AS kini telah melihat Beijing sebagai sebuah ancaman besar yang tak boleh diabaikan. Meninggalkan Afghanistan, dan fokus ke China adalah sebuah pilihan untuk tetap mempertahankan pengaruh AS di kancah global.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement