Rabu 21 Apr 2021 04:52 WIB

Liga Super Eropa, Bakal Layu Sebelum Berkembang

Liga Super Eropa (ESL) mendapat tentangan dari berbagai stakeholder sepak bola Eropa.

Red: Israr Itah
Sebuah spanduk terlihat di luar Stadion Anfield Liverpool yang memprotes pembentukan Liga Super Eropa, Liverpool, Inggris, Senin (19/4).
Foto: AP / Jon Super
Sebuah spanduk terlihat di luar Stadion Anfield Liverpool yang memprotes pembentukan Liga Super Eropa, Liverpool, Inggris, Senin (19/4).

Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Sepak bola Eropa dan dunia dibuat gempar awal pekan ini. Sejumlah klub top Eropa menyatakan akan memutar kompetisi sendiri dengan nama European Super League (ESL). Nantinya liga sempalan ini akan head to head langsung dengan Liga Champions.

Baca Juga

Saat awal diumumkan pada Ahad (18/4), saya teringat pada kejadian beberapa tahun lalu di Indonesia. Kita pernah punya liga sempalan Liga Primer Indonesia (LPI). Keduanya sama-sama punya donatur awal yang siap membiayai bergulirnya kompetiti dengan dana gede. Bedanya, ESL murni demi cuan sementara LPI sebagai alat untuk menekan penguasa sepak bola Indonesia kala itu.

Lupakan LPI yang numpang lewat itu, mari bicarakan ESL. Sejak deklarasi mencuat, gelombang kritikan meluncur kepada Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, AC Milan, Inter Milan, Juventus, Manchester City, Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Ke-12 klub ini merupakan inisiator liga sultan yang dianggap egois, mementingkan uang semata. Mereka berani meninggalkan kompetisi sarat sejarah Liga Champions demi menangguk keuntungan yang berkali-kali lipat. Diperkirakan, juara ESL nanti mendapatkan uang tiga kali lebih banyak dibandingkan juara Liga Champions.

Perkara hitung-hitungan uang yang bisa dikantongi juara Liga Champions ini sedikit pelik. Sebab tiap juara tak serta merta mendapatkan jumlah uang yang sama. Ada perhitungan uang kemenangan di fase grup yang jumlahnya berbeda bila mendapatkan hasil imbang. Ada juga uang dari market pool televisi yang kalkulasinya juga mempertimbangkan lima variabel yang akan panjang kalau dijabarkan di sini.

Singkatnya, Goal dan DAZN, mengutip pemaparan di laman UEFA, menyebutkan angka 82,4 juta euro atau 71,1 juta pound bisa dikantongi tim juara Liga Champions. Sementara AP menuliskan angka lebih besar, yakni bisa mencapai maksimal 100 juta euro atau 86,3 juta pound. Berapa pun angka yang tepat, jumlahnya masih sepertiga atau bahkan lebih kecil dari yang didapatkan tim juara ESL nanti.

Tidak hanya tim juara ESL saja yang dapat cuan besar. Seluruh peserta tetap yang nantinya akan berjumlah 15 tim, meski saat ini baru 12, akan menerima uang 3 miliar pound. Suntikan uang sebesar itu dari perusahaan investasi asal AS, JP Morgan ini merupakan dana awal. Nominal yang diterima tiap tim berbeda, mulai dari 89 juta pound sampai 310 juta pound.

Ada juga total uang hadiah sebesar 2,66 miliar pound. Ini artinya 15 klub pendiri bisa menerima tambahan antara 130 juta pound sampai 213 juta pound.

Karena disokong oleh perusahaan AS dan beberapa pemilik klub pendiri berasal dari Negeri Paman Sam, model bisnis yang diterapkan tampaknya mengadopsi liga negara itu. Kompetisi basket NBA misalnya tak mengenal promosi degradasi, melainkan sistem franchise. Tim-tim yang bertarung tiap tahun itu-itu saja.

ESL nantinya akan menerapkan hal mirip. Ada 15 tim sebagai peserta tetap. Sisanya lima tim kemungkinan akan berganti. Model yang keluar dari pakem kompetisi sepak bola Eropa di mana kontestan harus berdasarkan prestasi mereka di liga lokal dan kemampuan mereka menjaga konsistensi agar tetap berada di papan atas.

Panen kritik

Maka mulailah gelombang kritikan dan ancaman mengarah ke ESL tersebut. Muaranya, sebagian besar tentu pada uang. UEFA berteriak paling keras, mengancam mengeluarkan klub-klub pendiri ESL itu dari kompetisi Eropa. UEFA juga mengancam tim-tim tersebut tidak bisa bermain lagi di liga lokal negara masing-masing. Ini masih ditambah para pemainnya tak dapat berlaga membela tim nasional negara masing-masing. Padahal Euro 2020 sudah di depan mata.

UEFA pastilah memikirkan salah satu tambang uang yang hilang jika ESL bergulir. Siapa yang mau menonton Liga Champions jika klub-klub tradisional langganan juara tak bermain? Omong kosong jika UEFA berteriak keras karena alasan lain. 

Pengelola liga-liga lokal juga demikian. Sulit menjual hak siar pertandingan liga jika klub-klub papan atas ini ogah-ogahan bertanding di kompetisi domestik. Kekhawatiran yang masuk akal karena tim-tim itu pasti lebih mementingkan berlaga di ESL karena kemenangan diganjar uang lebih besar ketimbang di liga lokal. Bisa jadi, pemain-pemain bintang lebih banyak difokuskan tampil di ESL ketimbang liga lokal.

Jika hak siar pertandingan liga terjual rendah, yang buntung tim-tim lain di luar tim ESL. Mereka dipastikan kehilangan pemasukan cukup signifikan, terutama di Liga Primer Inggris. Itu sebabnya 14 klub Liga Primer Inggris terang-terangan melancarkan tentangan terhadap ESL. Keenam klub inisiator ESL asal Inggris dianggap sangat egois. Betapa tidak, dengan aset mereka yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan para rivalnya di liga, klub-klub ini seolah tengah sekarat sehingga memaksakan bergulirnya ESL secepat mungkin. Padahal, mereka dinilai relatif masih sanggup menarik lebih banyak sponsor dibandingkan klub lain di tengah pandemi ini, meski kenyataannya utang mereka juga membengkak karena menggaji pemain bintang. 

Ancaman UEFA tak mengizinkan pemain yang tampil di ESL membela timnas membuat federasi sepak bola Italia, Inggris, dan Spanyol tak tinggal diam. Bayangkan timnas Inggris tanpa Marcus Rashford, Harry Kane, Mason Mount, dan sejumlah pemain dari enam klub papan atas Liga Primer, saat berlaga di Euro 2020 nanti. Selain sulit berprestasi, FA, FIGC, dan RFEF juga akan makin payah menarik sponsor mendanai kegiatan jika tim mereka minus pemain bintang.

Sikap para pemain yang ada dalam tim-tim deklarator ESL ini sebenarnya juga terbelah. Kebanyakan diam, tapi ada yang berani menyuarakan tentangan seperti James Milner dari Liverpool. Belakangan rekannya Jordan Henderson juga menyuarakan hal serupa. Lainnya sebatas menekan tombol like pada unggahan tokoh sepak bola yang mengkiritik ESL. Kritikan David Beckham di Instagram pribadinya misalnya, disukai oleh empat pemain Madrid.

Sebagian pemain menolak kemungkinan karena khawatir dengan peluang tak bisa membela timnas saat kompetisi besar sudah di depan mata. Sementara yang lain lebih memilih mencari aman, selama gaji besar mereka tetap dibayar lancar di tengah pandemi.

Sejumlah kelompok suporter, terutama di Inggris sudah terang-terangan menyuarakan ketidaksetujuan tim kesayangan mereka tampil di ESL. PM Inggris Boris Johnson dan jajarannya juga sudah menyatakan akan berupaya menggagalkan bergulirnya ESL sesuai kewenangan mereka. 

Faktor utang

Walaupun sebagian besar inisiator ESL berstatus tim tradisional kaya dengan aset besar atau punya pemilik tajir, utang klub-klub ini terus membengkak seiring pandemi. Madrid misalnya harus membayar gaji para pemain bintangnya sambil tetap merenovasi Santiago Bernabeu. Padahal pemasukan mereka seret untuk membiayai proyek renovasi ini karena pandemi. Barcelona juga terlilit utang besar. Sama halnya dengan Atletico Madrid. Ketiga klub ini sebelumnya diminta oleh La Liga memperbaiki neraca keuangan dengan melepas pemain atau menegosiasi ulang gaji pemain agar aman bisa terus berlaga di liga tanpa beban utang menggunung.

Hal serupa terjadi pada Inter, di mana pemilik klub Sunning Group yang bisnisnya di Cina terguncang sudah menawarkan saham ke sejumlah pihak. Juventus dan Milan punya permasalahan serupa terkait utang.

Para pemilik klub tampaknya yakin ESL jalan terbaik keluar dari krisis. Hanya, mereka harus berjuang melawan tekanan eksternal yang makin lama makin membesar serta suara sumbang internal dari pemain dan pelatih.

Pelatih Liverpool Juergen Klopp sebelumnya ikut menyatakan ketidaksetujuannya atas ESL, meskipun dengan berhati-hati. Sementara pelatih Manchester City Pep Guardiola bersuara lebih keras. Ia menegaskan format kompetisi di ESL tidak mencerminkan semangat olahraga. Ia mempertanyakan ada klub yang tak pernah juara Eropa, seperti timnya sendiri, mendapatkan hak istimewa tetap bisa terus berkompetisi pada musim berikutnya meskipun nanti mendapatkan hasil buruk pada awal keikutsertaan. Padahal ada tim-tim lain yang punya sejarah lebih baik di kompetisi Eropa, tapi tak masuk dalam anggota tetap atau menolak ESL.

Saya meyakini, ESL akan layu sebelum berkembang. Sulit bagi klub-klub inisiator ESL itu melawan di tengah tekanan yang masif. Terlebih saat tulisan ini dibuat, City dan Chelsea dilaporkan tengah menyiapkan pengumuman keluar dari ESL. Saya percaya Presiden UEFA Aleksander Ceferin akan tersenyum pada akhir cerita. Menarik dinanti ending dari drama Liga Super Eropa ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement