REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 663 pekerja tercantum sebagai pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dengan perkara nomor 4/PUU-XIX/2021. Hal ini tercatat menjadi permohonan dengan pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami menegaskan juga dalam Pendahuluan ini mengajukan mengatasnamakan Gerakan Kesejahteraan Nasional sebuah aliansi masyarakat sipil yang berhubungan serikat pekerja yang terdiri dari berbagai federasi," ujar Kuasa hukum para pemohon Ari Lazuardi dikutip risalah sidang pemeriksaan pendahuluan, Selasa (20/4).
Namun, Ari tidak menyebutkan semua nama pemohon di depan para hakim panel dan hanya dianggap dibacakan. Nama pemohon yang disebutkan hanya R Abdullah sebagai karyawan swasta yang juga ketua umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI) serta Indra Munaswar, seorang karyawan swasta sekaligus ketua umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI).
Nama 663 pemohon ditulis dalam berkas permohonan. Para pemohon perkara nomor 4/PUU-XIX/2021 melalui tim kuasa hukumnya, mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Secara formil, pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945. Karena itu, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan secara materiil, pemohon meminta MK menyatakan inkonstitusional ataupun inkonstusional bersyarat pada seluruh norma yang dipersoalkan. Pemohon juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Anggota Majelis Hakim Arief Hidayat mengatakan, pemohon perlu menguraikan legal standing atau kedudukan dari 663 pemohon maupun kerugian inkonstitusional atas adanya UU Ciptaker ini. Ia menyarankan agar pemohon bisa dibuat klaster atau dikelompokkan berdasarkan kerugian inkonstitusional tersebut.
"Bisa saja di antara 600 itu ada 20, 30, atau 40, atau bahkan 100 yang tidak punya legal standing. Ya, itu akan dilihat satu per satu. Kalau Anda bisa membuat klasternya itu akan memudahkan kita semua pada waktu melakukan pengujian," kata Arief.
Ia menegaskan, penentuan legal standing sangat penting dalam gugatan uji materi karena sebagai pintu masuk pengujian UU. Apabila uraian mengenai legal standing pemohon tak jelas, maka Mahkamah bisa menyatakan pemphon tidak mempunyai legal standing sehingga Mahkamah tidak perlu membahas sampai ke pokok permohonannya.