REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ibu dari pasien cerebral palsy atau penyakit kelumpuhan otak mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan berkaitan dengan larangan penggunaan narkotika golongan I seperti ganja untuk pelayanan kesehatan.
"Meskipun Undang-Undang Narkotika telah dengan jelas menyatakan bahwa narkotika memiliki fungsi untuk pelayanan kesehatan, namun ternyata hal tersebut dibatasi dengan adanya ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang melarang penggunaan sepenuhnya narkotika, termasuk narkotika golongan 1 untuk pelayanan kesehatan," ujar kuasa hukum para pemohon, Erasmus A T Napitupulu, dalam sidang perbaikan permohonan, Rabu (21/4).
Para pemohon terdiri dari perorangan yang merupakan ibu dari anak yang mengidap cerebral palsy serta beberapa perkumpulan atau lembaga. Para pemohon yakni Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), yang diwakili kuasa hukumnya, Erasmus A T Napitupulu.
Dikutip dari berkas permohonannya, Dwi mencari alternatif pengobatan yang lebih baik untuk anaknya. Dwi menemukan informasi terkait orang tua dari pasien-pasien lain di luar negeri yang menggunakan pengobatan dengan ganja.
Pada 2015, seorang anak perempuan berusia tujuh tahun di Selandia Baru mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk menggunakan Sativex, obat semprot berbahan minyak ganja, selama enam bulan untuk mengobati kondisi kejang akibat kondisi cerebral palsy. Dwi juga mengumpulkan sejumlah informasi penggunaan minyak ganja oleh pasien-pasien di luar negeri serta jurnal-jurnal ilmiah.
Hingga pada 2016, Dwi memberikan minyak ganja kepada anaknya ketika sedang mengusahakan pelayanan kesehatan untuk anaknya di kota Daylesford, negara bagian Victoria, Australia. Pengobatan atau terapi ganja tersebut dilakukan oleh Dwi dengan sistem pengasapan atau bakar dupa.
Dwi mendapatkan bahan minyak ganja dari temannya yang juga sedang melakukan pengobatan dengan ganja di Australia. Menurut Dwi, usai diberi pengobatan dengan ganja tersebut setiap hari selama satu bulan penuh, sejak November-Desember 2016, kondisi anaknya menjadi jauh lebih baik.
Anak Dwi terlihat menjadi lebih rileks atau lebih tenang, lebih fokus, kondisi otot dan tulang menjadi lebih lembut, serta gejala kejangnya berhenti total selama periode itu. Pada saat itu, anak Dwi sama sekali tidak mengonsumsi obat dari dokter, padahal sebelumnya otot-otot anaknya sangat kaku sehingga sulit dilakukan terapi serta mengeluarkan dahak dan mengalami gejala kejang hampir seminggu sekali.
Namun, Dwi menghentikan pengobatan dengan menggunakan ganja kepada anaknya, setelah mengetahui adanya ancaman pidana, meskipun kondisi kesehatan anaknya menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Ditambah lagi munculnya kasus-kasus pemidanaan terhadap penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan.
Dwi mencontohkan, kasus Fidelis Arie Sudewarto, warga Sanggau, Kalimantan Barat yang dipidana pada 2017 karena memberikan pengobatan ganja kepada istrinya yang menderita penyakit langka, syringomyelia. Dwi tidak dapat mengambil risiko pemenjaraan karena anaknya sangat bergantung padanya.
Akibatnya, pengobatan dengan ganja terhadap anak Dwi terpaksa harus dihentikan. Menurut Dwi, adanya larangan penggunaan ganja yang masuk narkotika golongan I itu jelas menghalanginya untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup bagi anaknya hingga taraf semaksimal mungkin.
Dwi menganggap, keadaan tersebut telah menimbulkan kerugian konstitusional secara aktual, akibat keberadaan penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf H dan pasal 8 ayat 1 UU narkotika. Pasalnya, anak Dwi meninggal dunia pada 26 Desember 2020 karena kondisi yang sedang dideritanya.
"Kami sudah sampaikan bahwa anak kami, adik kami yang tercinta Musa bin Hassan Pedersen sudah berpulang dan sudah meninggal dunia sehingga Dwi Pertiwi
mewakili sebagai legal standing atas almarhum Musa bin Hassan Pedersen di usia 16 tahun," kata Erasmus.
Hakim MK kemudian akan menyampaikan naskah perbaikan permohonan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang terdiri dari sembilan hakim konstitusi. Dalam RPH itu, para hakim akan melakukan pembahasan terkait relevansi perkara ini.
"Apakah perlu kemudian dicermati, ditingkatkan dalam sidang pembuktian, ataukah cukup sampai di sini, dan kemudian bisa diambil sikap oleh Mahkamah dengan mengambil keputusan," kata Ketua Majelis Hakim Panel MK Suhartoyo.