Kamis 22 Apr 2021 14:17 WIB

Gelombang Kedua Covid-19 India, Peringatan untuk Negara Lain

India jadi bukti nyata pandemi tak bisa diatasi hanya dengan vaksinasi.

Tabung oksigen ditenteng untuk pengisian di Bangalore, India, Rabu (21/4). Peningkatan kasus Covid-19 di masa gelombang kedua menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan oksigen bagi pasien di kawasan yang terdampak.
Foto: EPA-EFE/JAGADEESH NV
Tabung oksigen ditenteng untuk pengisian di Bangalore, India, Rabu (21/4). Peningkatan kasus Covid-19 di masa gelombang kedua menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan oksigen bagi pasien di kawasan yang terdampak.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira Bach, Indira Rezkisari

Gelombang kedua Covid-19 di India telah mengakibatkan kepanikan massal. Di sejumlah rumah sakit adalah pemandangan biasa melihat orang mengambil tabungan oksigen dari sisi tempat tidur pasien yang meninggal untuk diberikan ke anggota keluarga yang membutuhkan.

Vicky Jadhav (23 tahun) termasuk salah satu yang melakukan tindakan tersebut demi bisa memberikan oksigen bagi neneknya, Sugandha Thorat (65). Sang nenek akhirnya meninggal bersama 24 pasien lain setelah pasokan oksigen mereka terdampak kebocoran dari tempat penyimpanan di utama di Dr Zakir Hussain Hospital, Rabu (21/4), di Nashik.

"Melihat orang-orang meninggal di depan mata kita dalam kurang dari satu jam sangatlah traumatis. Tapi saya tidak bisa melupakan melihat orang-orang mengambil oksigen dari sisi pasien meninggal dan mencoba menggunakannya untuk menghidupkan mereka yang kita sayangi. Saya mencoba melakukan itu tapi tidak ada gunanya," kata Jadhav.

Thorat ada di titik kritis ketika saturasi oksigennya hanya 38 saat Jadhav tiba di rumah sakit pukul 10.00 untuk menemuinya. Neneknya namun tidak mendapatkan bantuan oksigen. Jadhav pun meradang.

"Kacau sekali ketika dokter dan perawat mencoba membantu pasien yang sekarat. Keluarga pasien masuk ke ruang setelah mendengar sesuatu ada yang salah. Lalu kami sadar rumah sakit kehabisan oksigen. Keluarga termasuk saya berusaha mengambil oksigen dari pasien yang baru saja meninggal," katanya, dilansir dari Indian Express, Kamis (22/4).

Kepanikan serupa dirasakan pula di banyak rumah sakit di India. Keluarga membawa anggotanya dari satu rumah sakit ke rumah sakit karena mencari kamar kosong. Sedang kremasi pasien meninggal Covid-19 pun seakan tak putus terjadi.

Kasus infeksi virus corona di India setiap harinya mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu 24 jam hingga Kamis (22/4), angka kasus menembus 300 ribu lebih. Titik suram dalam tanggapan pemerintah India terhadap gelombang kedua ini pun menjadi peringatan keras bagi negara lain di dunia.

Dalam retrospeksi, jelas bahwa angka infeksi baru yang dilaporkan India pada Januari dan Februari mengalami penurunan. Namun dilaporkan pada Maret dan April kasus meningkat.

Awal Febuari ini, seorang ekonom kesehatan di University of Georgetown di Amerika Serikat, Jishnu Das, mengatakan, kasus-kasus yang terdeteksi menurun di India bukan karena India sedang menguji lebih sedikit atau hal-hal menjadi kurang dilaporkan. "Itu naik, dan sekarang tiba-tiba, itu lenyap! Maksud saya, pemanfaatan ICU rumah sakit sudah turun. Setiap indikator mengatakan angkanya turun," ujar Das dilansir laman Guardian, Kamis (22/4).

Alasan ilusi tersebut kemungkinan membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun demikian jelas bahwa pengawasan India terhadap virus tersebut meleset dari prevalensi sebenarnya awal tahun ini. Bahkan pada saat orang-orang merayakan penurunannya, itu semua sudah terlambat.

Meskipun ada banyak fokus pada varian baru dari Covid-19 di India, sebagian besar gelombang terbaru mungkin juga disebabkan oleh kombinasi perilaku sosial, kelemahan dalam sistem kesehatan India, dan keputusan kebijakan pada pemerintahannya. Termasuk merasa virus telah ditaklukkan atau bahwa beberapa daerah mendekati kekebalan kawanan alias herd immunity.

Adanya vaksinasi juga dinilai sudah dekat dan mampu meredam pandemi, sehingga dapat dikontrol. Beberapa dari mereka yang mungkin sebelumnya ingin tes Covid, tidak akan mengikuti pilihan itu terutama jika dihadapkan dengan gejala yang kurang serius.

Bagi banyak orang lainnya, menemukan tes di negara dengan area kemiskinan yang parah dan perawatan kesehatan yang buruk bukanlah pilihan yang tepat. Yang lainnya, seperti yang dijelaskan oleh kepala salah satu jaringan laboratorium terbesar di India pekan ini, telah berjuang untuk menemukan tes Covid-19.

Gelombang kedua juga dipicu oleh perayaan keagamaan oleh masyarakat tanpa menerapkan langkah-langkah menjaga kendali sehat dalam mencegah tertularnya virus. Meskipun kelemahan dalam perilaku masyarakat telah diperhatikan, namun dari Februari hingga April 2021, pemerintah juga tidak menunjukkan tekadnya untuk menegakkan langkah-langkah kesehatan masyarakat.

Sementara pedoman adat istiadat tentang perilaku yang sesuai dengan Covid-19 dikeluarkan, para pembuat kebijakan dan pemimpin terpilih secara diam-diam mendorong kerumunan dalam festival (Holi pada akhir Maret 2021), kampanye pemilihan di lima negara bagian (Maret-April 2021) dan kongregasi religius (Kumbh Mela di Haridwar) pada Maret-April 2021).

Selain itu, beberapa di antaranya juga tampak seperti berpuas diri. Produsen vaksin utama dunia, India, telah mereplikasi kesalahan yang dilakukan juga di AS dan di tempat lain dengan asumsi bahwa vaksinasi saja sudah cukup untuk mengendalikan Covid-19. Kesalahan ini diperparah pada Selasa oleh desakan Narendra Modi bahwa lockdown harus tetap menjadi ukuran bagi "upaya terakhir."

Kenyataannya, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Inggris, adalah bahwa kombinasi vaksinasi agresif, lockdown, dan pengawasan menawarkan peluang terbaik untuk mengurangi dampak pandemi. Mungkin pula sebagian besar dari semua itu memperkuat tiga pelajaran utama.

 

Pertama, tanpa penekanan pada pemantauan yang efektif, virus corona akan mengeksploitasi titik-titik buta tersebut untuk kembali menyebar. Kedua, bahkan di tengah-tengah kampanye vaksinasi seperti di India, sementara sejumlah besar tetap tidak divaksinasi, Covid-19 tetap menjadi ancaman yang kuat yang mampu membanjiri sistem kesehatan.

Pelajaran ketiga dan terakhir adalah satu untuk para pemimpin politik. Boosterisme (seperti Modi di sekitar produksi vaksin India) dan dorongan bias kenormalan (yang membuat orang meminimalkan ancaman ketika dihadapkan pada risiko serius) memiliki dampak nyata dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat yang mengandalkan dorongan orang untuk waspada.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement