REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Populi Center, Rafif Pamenang Imawan mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mempertimbangkan banyak hal sebelum menunjuk profesional ke dalam kabinetnya. Pasalnya, tidak semua profesional dapat bekerja dalam birokrasi kementerian.
"Tidak semua profesional dapat mengontrol birokrasi ada juga profesional yang kelimpungan, ketika dia masuk karena struktur birokrasi didahului jadi agak sulit dikontrol," ujar Rafif dalam diskusi daring, Kamis (22/4).
Hal ini terjadi pada Nadiem Makarim yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Kritik terhadapnya dirasa lebih besar, ketimbang Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang merupakan kader Partai Kebangkita Bangsa (PKB).
"Kalau memilih profesional harus digarisbawahi bagaimana dia bisa berkonsolidasi politik, terutama dengan koalisi. Kita sering melhat Nadiem jadi sasaran tembak," ujar Rafif.
Di samping itu, ia juga melihat banyak kader partai yang notabenenya juga profesional. Namun hal tersebut tentu akan disorot publik, karena Presiden terkesan lebih mengakomodasi partai politik.
"Saya rasa itu dilema dalam kabinet zaken dan reshuffle. Kabinet zaken akan sangat sulit menurut saya, dalam konteks bagaumana pun juga Koalisi Indonesia Maju," ujar Rafif.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, kabinet pemerintahan Jokowi lebih mengakomodasi sosok profesional, ketimbang kader partai politik. Hal itu terjadi pada periode 2014-2019 dan periode keduanya hingga saat ini.
"Dalam pemerintahan Jokowi ada pola yang menarik rupanya, ada semacam pola pakem dalam penujukkan menteri. Jadi ada formula 18 (profesional) 16 (kader partai) yang bisa kita simak dari periode pertama dan kedua," ujar Wasisto.