REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, kabinet pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi lebih mengakomodasi sosok profesional, ketimbang kader partai politik. Hal itu terjadi pada periode 2014-2019 dan periode keduanya hingga saat ini.
"Dalam pemerintahan Jokowi ada pola yang menarik rupanya, ada semacam pola pakem dalam penujukkan menteri. Jadi ada formula 18 (profesional) 16 (kader partai) yang bisa kita simak dari periode pertama dan kedua," ujar Wasisto dalam diskusi daring yang digelar Populi Center, Kamis (22/4).
Namun ia tak bisa memprediksi, bagaimana nasib Kabinet Indonesia Maju ke depannya. Setelah adanya wacana perombakan atau reshuffle usai digabungkannya tugas antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
"Terkait keluar-masuknya partai, jadi yang saya lihat dari perilaku politik Pak Jokowi itu saya lihat beliau bukan tipe orang yang langsung opini yang sifatnya tidak langsung berwacana di depan publik," ujar Wasisto.
Apalagi, Jokowi berpeluang mengisi pos menteri di kabinetnya dengan sosok-sosok yang sebelumnya pernah berseberangan dengan dirinya. Hal ini pernah terjadi ketika Jokowi menunjuk Rizal Ramli sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman pada 2015.
"Ini terjadi ketika Pak Rizal Ramli masuk ke kabinet atau tokoh-tokoh lain yang dulunya oposisi masuk kabinet. Artinya ini semacam uji kapabilitas, apakah oposisi yang kemarin bener bersuara koar-koar apakah bisa idealis," ujar Wasisto.
Berbeda dengan masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, mayoritas kabinetnya diisi oleh kader partai politik. "Kecenderungan SBY mengangkat figur dari parpol ketika beliau berkuasa di periode kedua, proporsinya itu hampir tidak berimbang. Jadi menteri dari parpol 21 orang, profesional 16 orang," ujarnya.
Hal ini berbeda pada masa pemerintahan SBY ketika berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla. Saat itu, orang dari golongan profesional mengisi 21 kursi di kabinet, ketimbang kader partai yang hanya mengisi 16 posisi.
"Di periode SBY, zaken kabinet juga belum terjadi masih cenderung masih kuatnya personal. Nah menjelang periode kedua SBY ada tendensi naik, jadi yang tadinya hanya setengah dari kabinet diisi orang profesional," ujar Wasisto.