Jumat 23 Apr 2021 11:44 WIB

Kelompok HAM Suriah Kecam Pemilu oleh Rezim Assad

Pemilihan presiden di Suriah dinilai akan menghancurkan proses politik

Red: Nur Aini
Sebuah kelompok hak asasi manusia pada Kamis (22/4) mengecam keputusan
Sebuah kelompok hak asasi manusia pada Kamis (22/4) mengecam keputusan "tidak sah" oleh rezim Bashar al-Assad untuk mengadakan pemilihan presiden di negara yang dilanda perang itu.

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Sebuah kelompok hak asasi manusia pada Kamis (22/4) mengecam keputusan "tidak sah" oleh rezim Bashar al-Assad untuk mengadakan pemilihan presiden di negara yang dilanda perang itu.

Pemilihan presiden yang direncanakan secara sepihak oleh rezim Bashar al-Assad adalah ilegal dan akan menghancurkan proses politik yang sedang berlangsung yang bertujuan untuk mengakhiri perang saudara selama satu dekade, menurut sebuah laporan dari Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah (SNHR).

Baca Juga

Pemilu akan diadakan sesuai dengan pasal konstitusional yang disiapkan oleh rezim pada 2012, yang dianggap 'ilegal "oleh kubu oposisi, kata laporan itu.

Badan legislatif dan yudikatif Suriah secara langsung berada di bawah kendali Assad, sementara kandidat untuk pemilihan akan ditentukan oleh parlemen rezim.

"Keputusan pemilu oleh rezim bertentangan dengan resolusi DK PBB 2254, yang menetapkan peta jalan untuk solusi politik di Suriah," kata laporan itu.

Pada Ahad, Majelis Rakyat Suriah, atau parlemen, menetapkan tanggal pemilihan presiden pada 26 Mei. Menurut kantor berita resmi Suriah SANA, permohonan kandidat dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi mulai 19-28 April.

Keputusan untuk mengadakan pemilu diambil di tengah konflik militer yang sedang berlangsung, kurangnya solusi politik, kegagalan negosiasi antara oposisi dan rezim, dan penggusuran lebih dari 10 juta warga Suriah. Selain itu, sekitar 40 persen negara tidak berada di bawah kendali rezim.

Suriah telah mengalami perang saudara sejak awal 2011 ketika rezim Assad menindak protes pro-demokrasi. Sekitar setengah juta orang tewas, dan lebih dari 12 juta lainnya harus meninggalkan rumah mereka, mereka menjadi pengungsi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement