REPUBLIKA.CO.ID, MANOKWARI -- Pegiat hak asasi manusia (HAM) Tanah Papua Yan Christian Warinussy menyesalkan perilaku kriminal berbentuk teror dan intimidasi psikis yang dilakukan orang tidak bertanggungjawab terhadap salah satu jurnalis senior/Pemimpin Umum Tabloid Jujur Bicara (Jubi) Victor C Mambor pada Rabu (21/4) lalu di Jayapura. Peraih penghargaan di bidang HAM internasional John Humphrey Freedom Award di Canada Tahun 2005 itu, menilai bentuk tindakan teror dengan merusak kaca-kaca mobil milik Victor Mambor (VM) dan disertai corat-coret pada body kendaraan VM adalah aksi nyata teror dan intimidasi yang ditujukan terhadap psikis (kejiwaan/mental) Victor Mambor.
"Jelas sangat berkaitan erat dengan tugas jurnalisme yang dilakukannya. Apalagi beberapa pemberitaan Tabloid Jubi, media yang digawangi Mambor senantiasa menampilkan pemberitaan dari sudut pandang (angle) yang berbeda," ujar Warinussy dalam siaran persnya, Kamis (22/4) malam.
Dia menduga teror itu berkaitan erat dengan pemberian kematian tenaga guru yang diberitakan terbunuh akibat perbuatan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Beoga, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua. "Sesungguhnya sajian pemberitaan Jubi sangat dilindungi oleh amanat UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga siapa pun yang tidak puas dengan berita sajian Jubi seyogianya dapat menempuh prosedur melalui penggunaan hak jawab. Atau pun dapat mengadu/melapor ke Dewan Pers Indonesia," kata dia pula.
Menurut dia, pilihan cara serangan digital (doxing) berbentuk teror atau intimidasi semacam ini adalah bersifat tidak demokratis, kerdil dan melawan hukum. Karena itu, sebagai advokat dan pembela HAM di Tanah Papua, dia mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit memerintahkan Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri dan jajarannya untuk mengusut hingga menyeret terduga pelakunya, guna mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
Pasalnya, lanjut Warinussy, tindakan teror dan intimidasi psikis yang telah dilakukan terhadap jurnalis senior seperti Victor Mambor juga merupakan bentuk serangan terhadap para jurnalis di Tanah Papua, khususnya jurnalis anak asli Papua yang cenderung berbau rasis. "Sekaligus merupakan bentuk pengingkaran terhadap citra Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar keempat di dunia, dan juga mencoreng citra negara hukum (rechtstaat)," katanya pula.