REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyoroti pernyataan anggota Tim Kajian Revisi Undang undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyebut tim sepakat merevisi pasal 27 ayat 1. Isnur menilai, masih ada delapan pasal bermasalah lainnya di UU ITE yang perlu diubah, tak hanya pasal 27 ayat 1.
"Dari mulai pasal 26, 27, 28, 29-nya itu full masalah. Sebaiknya pemerintah membuka mata lebih lebar, mendengarkan lebih sabar, dan mau mengakui kekeliruan di masa lalu tentang penyusunan undang undang ini," kata Isnur saat dihubungi, Jumat (23/4).
Isnur mengatakan, pasal-pasal ini disusun tidak memenuhi unsur legalitas hukum pidana. Sehingga, pada praktiknya berdampak luar biasa ke banyak orang.
Namun, Isnur menilai selama ini Pemerintah selalu menyangkal (denial) jika banyak pasal di UU ITE bermasalah.
"Dan sekarang ada pengakuan atau temuan bahwa pasal itu bermasalah, mulai mengakui dan mengubah itu kami apresiasi ya, tetapi pertanyaan pentingnya sejauh mana pengakuan bermasalah ditindaklanjuti," kata Isnur.
Karena itu, ia mengatakan koalisi masyarakat termasuk YLBHI tengah menyusun bahan masukan kepada Pemerintah agar rencana revisi UU ITE benar-benar direalisasikan. Sebab, saat ini masyarakat dan koalisi sangat menantikan keseriusan Pemerintah dalam merevisi pasal di UU ITE.
"Sejauh mana kami menunggu keseriusan pemerintah untuk memperbaiki pasal itu, dibuktikan dengan satu pertama menghentikan penggunaan pasal, sejauh mana kami menunggu perubahan UU ITE ini jadi prioritas diubah di tahun ini," kata Isnur.
Menurutnya, jika Pemerintah memang serius terhadap rencana revisi itu, maka Juli mendatang Revisi UU ITE mestinya masuk dalam program legislasi nasional.
"Harusnya kalau pemerintah serius ini jadi prioritas di bulan Juli nanti ketika ada revisi prolegnas, itu harusnya masuk jadi prioritas paling pertama untuk menghentikan krimlisasi yang sudah berlanjut dimana mana ini," katanya.
Sebelumnya, Kabid Materi Hukum Publik Kemenko Polhukam Dado Achmad Ekroni mengatakan Tim Kajian Undang-Undang UU ITE sepakat agar pasal 27 ayat 1 UU ITE perlu direvisi. Kesepakatan tersebut dilakukan usai tim kajian UU ITE mendengarkan keterangan dari 55 narasumber yang meliputi berbagai unsur, mulai dari pihak pelapor, terlapor, pers, DPR, praktisi, hingga akademisi.
Sementara itu, setidaknya ada sembilan pasal di UU ITE yang dinilai pasal karet. Karena itu, saat wacana revisi UU ITE pertama kali disinggung Presiden Joko Widodo pada awal 2021 lalu, sejumlah koalisi menyusun daftar pasal yang dianggap bermasalah.
Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyebut, usulan perubahan terhadap sembilan pasal di UU ITE yang dianggap bermasalah, yakni pasal 27 ayat 1 dan 3, Pasal 28 ayat 2, Pasal 29, Pasal 26 , Pasal 36, Pasal 40 ayat 1 dan 2, dan Pasal 45 soal pemindanaan
"Sembilan pasal itu adalah pasal utama yang kita anggap ini dululah yang harus diubah atau pasal karet," kata Damar saat dihubungi, Selasa (16/2).
Damar menjelaskan untuk pasal 27 ayat 1 dan 3, pasal 28 ayat 2, dan pasal 29, selain isinya multi tafsir, juga pasal tersebut menimbulkan duplikasi hukum. Sebab, aturan di pasal itu sudah ada dalam UU pornografi dan juga di KUHP.
"Jadi buat apa, karena kalau ada duplikasi itu, jadinya ada ketidakpastian hukum, terhadap pasal pasal yang kita masalahkan ini kita mintanya dihapus, tegas, bukan direvisi," ungkap Damar.
Sementara, untuk pasal lainnya, lanjut Damar, agar diperjelas maksudnya. Sebab, pasal 26, 36, 40 ayat A, 40 ayat B. termasuk pasal 45 soal ancaman pidana rawan untuk disalahgunakan.
"Kita minta juga direvisi, diperjelas maksudnya apa," kata Damar.