REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok masyarakat sipil pengawas tahanan politik di Myanmar menyampaikan warga yang menjadi martir dalam demonstrasi menentang kudeta militer sudah mencapai 745 orang sejak 1 Februari lalu.
Dalam laporannya Jumat tengah malam, Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) menyampaikan tambahan 6 orang tewas menyusul kekerasan yang terjadi di Myanmar.
AAPP juga melaporkan hingga 23 April, total 3.371 orang telah ditahan. Dari jumlah itu, 79 orang dijatuhi hukuman dan 1.118 lainnya telah dikeluarkan surat perintah penangkapan.
Situasi ini terjadi di tengah pertemuan pemimpin ASEAN atau ASEAN Leaders Meeting di Jakarta pada Sabtu untuk mencari solusi krisis Myanmar.
Media lokal Myanmar Now melaporkan pengunjuk rasa anti-kudeta kembali ke jalan-jalan di pusat Kota Yangon pada Jumat setelah absen selama berminggu-minggu menyusul kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang di seluruh negeri.
Unjuk rasa dipimpin oleh aktivis Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma (ABFSU) dan pemuda dari beberapa kota di Yangon.
Mereka berbaris di sepanjang jalan untuk menyampaikan tuntutan agar pemerintah Myanmar bersikap demokratis.
“Apa yang kita inginkan? Demokrasi!" teriak demonstran.
Seorang penyelenggara aksi yang tidak mau disebut namanya mengatakan pawai bertujuan menghidupkan kembali demonstrasi jalanan.
“Kami berbaris di jantung kota agar protes di daerah perkotaan mendapatkan kembali momentumnya,” kata dia.
Para demonstran juga menyerukan penghapusan militer "fasis" Myanmar dan pembentukan serikat federal.
Pertemuan pemimpin ASEAN digelar di kantor Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu siang. Pertemuan tersebut membahas krisis di Myanmar setelah kudeta militer terjadi pada 1 Februari 2021.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan, pertemuan tersebut merupakan inisiatif dari Indonesia dan merupakan tindak lanjut dari pembicaraan Presiden Joko Widodo dengan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah. Sultan Brunei akan memimpin pertemuan tersebut selaku ketua ASEAN pada 2021.