REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Rizkyan Adiyudha
Masuknya 127 warga negara asing (WNA) asal India melalui Bandara Soekarno-Hatta, pada Rabu (21/4) lalu dan diketahui bahwa 12 di antara positif Covid-19 mengharuskan Pemerintah Indonesia bereaksi. Pemerintah pun kemudian menerbitkan aturan pelarangan masuk ke wilayah Indonesia bagi pelaku perjalanan internasional dari India mulai Sabtu (24/4).
Namun, sikap tegas pemerintah ini masih menyisakan pertanyaan, mengapa penutupan pintu-pintu imigrasi bagi pelaku perjalanan dari India tidak diberlakukan sejak sepekan lalu atau saat India mulai merasakan ledakan kasus positif dan kematian akibat Covid-19?
Seperti diketahui, India pertama kali mengalami ledakan kasus Covid-19 pada Rabu (14/4) saat tercapainya rekor 200 ribu kasus baru Covid-19 dalam sehari. Selama sepekan, jumlah kasus harian terus bertambah hingga saat ini, bahkan bisa mencapai 300 ribuan kasus per hari.
Sistem kesehatan India dilaporkan kolaps, banyak warga antre berebut jatah oksigen, para korban meninggal pun sampai harus dikremasi secara massal di lapangan terbuka. Bagi sebagian warga India yang mampu secara ekonomi, mereka mencoba pergi atau eksodus secara bersama-sama ke luar negeri, termasuk ke Indonesia.
Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Windhu Purnomo menilai kebijakan pemerintah Indonesia reaktif, tapi masih permisif. Padahal, kata Windu mengakui, pemerintah melalui satuan tugas (satgas) sebenarnya sudah mempunyai kebijakan tentang protokol perjalanan internasional.
"Kalau saya lihat Indonesia ini selalu reaktif, tidak preventif dan tidak proaktif. Jadi, kalau sudah terjadi baru bereaksi," ujarnya saat dihubungi Republika, Sabtu (24/4).
Artinya, dia melanjutkan, adanya perubahan kebijakan termasuk menutup pintu imigrasi bagi warga India saat ini, atas dasar sikap reaktif semata. Padahal, dia melanjutkan, Indonesia sebelumnya sudah diingatkan supaya waspada terutama menghadapi varian baru Covid-19.
Windhu pun menilai, keputusan menyetop pelayanan visa dan penutupan pintu imigrasi bagi pelaku perjalanan dari India terbilang terlambat. Akibatnya, pemerintah tidak bisa mencegah mereka yang sudah telanjur memegang visa kunjungan dan dalam perjalanan menuju Tanah Air.
"Meski Indonesia telah menerapkan kebijakan menutup pintu masuk buat WN India, negara kita tetapi permisif," katanya.
Kritiknya bukan tanpa alasan. Ia menyontohkan karantina untuk warga negara asing, Warga Negara Indonesia (WNI), hingga diplomat yang negatif hanya selama lima hari. Bahkan, dia melanjutkan, pekerja migran begitu tiba kembali ke Indonesia dan menyertakan hasil tes polymerase chain reaction (PCR) negatif kemudian langsung diperbolehkan pulang ke rumahnya masing-masing.
Padahal, ia menyebutkan varian baru virus yang terjadi di India bisa menginfeksi orang dan bergejala namun tidak terdeteksi oleh tes PCR. Artinya, dia menambahkan, kondisi mutasi virus kini mulai berbahaya dan para suspek harus dikarantina secara khusus.
"Kita tidak tahu bawa virus atau tidak karena bisa jadi bawa mutasi virus namun tidak terdeteksi tes PCR," kata Windhu.
Oleh karena itu, ia meminta masa karantina bagi 127 WN India yang telah masuk ke Indonesia harus dilaksanakan secara maksimal yakni, 14 hari. Windhu juga menyarankan, pemerintah untuk sementara menutup pintu masuk Indonesia dari semua warga negara asing biasa, tidak hanya India.
"Karena kita kan tidak tahu petanya. Kita tidak pernah tahu negara lain misalnya Iran jika memiliki varian baru, wong mereka tidak pernah melakukan whole genome sequencing (WGS) untuk kepentingan surveilans dengan rutin," ujarnya.
Terkait WN India India yang punya visa dan tengah dalam perjalanan ke Indonesia, Windhu menyebut pemerintah bisa melarangnya. Jangan sampai, ia melanjutkan, Indonesia kebobolan dan mengalami lonjakan kasus seperti India.
"Karena kita (Indonesia) punya kedaulatan, jadi bisa mengatakan kedatangan warga negara asing dari luar negeri ditunda. Ketika kondisinya memungkinkan, WNA bisa masuk," katanya.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 IDI Zubairi Djoerban menilai lebih bijak, dengan menyatakan, bahwa sebenarnya tidak ada negara yang siap dalam menghadapi pandemi ini. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait masuknya WN India, tetap ia dukung.
"Namun, Covid-19 memang harus diantisipasi. Intinya kebijakan terkait Covid-19 ini harus berdasarkan data hal lapangan dan yang terkait ini harus cepat (dirumuskan)," ujarnya saat dihubungi Republika, Sabtu (24/4).
Menurutnya, kenyataannya hampir semua negara terlambat dalam mengantisipasi berbagai hal terkait Covid-19. Zubairi menyebutkan, hanya Inggris, Amerika Serikat (AS), Singapura, dan Hong Kong telah menutup pintu masuk untuk WN India sebelum Indonesia melakukannya. Artinya, dia melanjutkan, belum banyak negara yang telah menutup pintu untuk WN India yang masuk ke negara-negara tersebut.
"Memang dibandingkan Inggris, AS, Singapura, negara kita (Indonesia) sedikit terlambat. Namun dibandingkan negara-negara lainnya menurut saya sih tidak," katanya.
Terkait WN India yang sudah memegang visa dan perjalanan menuju Tanah Air, Zubairi merekomendasikan lebih baik pemerintah mengumumkannya penutupan akses masuk ini. Ia menyontohkan pemerintah negara ini bisa mengumumkan kondisi pandemi membuat WN India tidak bisa masuk Indonesia walaupun telah memiliki visa.
"Kemudian pengumuman ini diinformasikan ke negara India dan semua pesawat dari India yang akan masuk ke Indonesia," katanya.
Menurutnya, perubahan kebijakan ini bisa dilakukan karena selalu ada komunikasi antara dua negara India dan Indonesia. Apalagi saat pandemi ini, penyesuaian antara kebijakan dan data di lapangan harus dilakukan dengan cepat.
"Sedikit terlambat tidak apa-apa meski telah terjadi dampak. Kalau warga negara India yang sudah punya visa menuju Indonesia, pemerintah perlu mengumumkan bahwa ada pembatalan kedatangan WN India ke negara ini karena terkait dengan pandemi," ujarnya.