REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN — Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan bahwa pengakuan atas genosida yang terjadi di era Kekaisaran ottoman pada 1915 oleh Presiden Amerika Serikat (AS) adalah bagian dari masalah keamanan yang terjadi di negara itu, pascakonflik di Nagorno-Karabakh yang melibatkan Azerbaijan pada tahun lalu.
“Pengakuan genosida adalah masalah kebenaran, keadilan historis, dan keamanan bagi Republik Armenia, terutama terkait peristiwa yang terjadi di wilayah kami tahun lalu," ujar Pashinyan dalam sebuah pernyataan yang ditulis melalui surat kepada Biden dan dipublikasikan di situs perdana menteri pada Ahad (25/4).
Pashinyan mengaitkan pengakuan genosida tersebut dengan insiden pertempuran yang terjadi di Nagorno-Karabakh antara pausan Armenia dan Azerbaijan pada tahun lalu. Konflik dihentikan dengan kesepakatan yang ditengahi oleh Rusia pada November 2020, namun hal ini dinilai lebih memberi keuntungan bagi Azerbaijan, yang didukung oleh Turki sebagai sekutu dekatnya.
Konflik antara Azerbaijan dan Armenia di Nagorno-Karabakh telah terjadi sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an. Namun, ini sempat berakhir dengan perjanjian gencatan senjata yang dicapai pada 1994.
Setelah perjanjian itu ditandatangani, etnik Armenia mengendalikan wilayah Nagorno-Karabakah, meski PBB mengakui wilayah itu sebagai bagian dari Azerbaijan. Konflik kembali memanas yang berakhir dengan pertempuran sengit antara kedua pasukan negara pada akhir September 2020.
Selama enam pekan pertempuran berlangsung, terdapat lebih dari 5.000 korban tewas. Dalam perjanjian gencatan senjata yang ditengahi Rusia dan mengakhiri konflik keda negara, Armenia sepakat untuk menyerahkan kembali tiga distrik yaitu Lachin, Agdam, dan Kalbacar kepada Azerbaijan.
Konflik dengan Azerbaijan menjadi hal yang disinggung oleh Armenia pasca Biden pada Sabtu (24/4) kemarin secara resmi mengakui pembantaian orang-orang Armenia oleh Kekaisaran Ottoman pada 1915 sebagai genosida, yang dinilai akan memecah hubungan Negeri Paman Sam dan Tukri.
Meski demikian, seorang pejabat senior di pemerintahan Biden mengungkapkan, pengakuan tersebut bertujuan menghormati para korban dan tidak dimaksudkan untuk merusak hubungan Washington dengan Ankara. Ia menekankan bahwa AS masih memandang Turki sebagai sekutu penting Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).