REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai bahwa tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala 402 merupakan musibah besar. Sebab, akibat peristiwa tersebut puluhan prajurit gugur. Setidaknya 53 personel dinyatakan gugur akibat hilangnya KRI Nanggala di perairan Bali.
"Tentu ini tragedi yang sangat memilukan karena menimbulkan korban jiwa yang banyak dari prajurit TNI terbaik kita. Saya mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya," kata Suparji dalam keterangan persnya, Senin (26/4).
Karena itu, menurut Suparji, perlu ada audit terkait perawatan Kapal Selam Nanggala 402. Jika dilihat dari segi usia, menurut Suparji kapal selam tersebut sudah tak lagi muda karena berusia 42 tahun. Artinya perlu ada pengecekan yang menyeluruh dan transparan terkait peristiwa ini. Maka jangan sampai hanya berhenti pada pengumuman bahwa kapal tersebut telah tenggelam.
"Misalnya anggaran yang digunakan untuk perawatan berapa jumlahnya, lalu apakah sudah digunakan seefektif mungkin atau belum. Publik perlu mengetahui hal tersebut," kata Suparji.
Suparji melanjutkan, audit yang menyeluruh ini, lanjutnya, demi mencegah terjadi hal serupa di kemudian hari. Apabila anggaran perbaikan dirasa kurang, maka sebaiknya TNI mengajukan penambahan anggaran ke DPR RI.
"Peremajaan alutsista kita sangat diperlukan. Meski dalam keadaan damai, akan tetapi keselamatan prajurit kita perlu dijaga," ucapnya.
Baca juga : Nanggala, On Eternal Patrol
Suparji berpesan negara untuk benar-benar hadir dalam tragedi ini. Misalnya dengan memberikan kenaikan pangkat terhadap prajurit yang gugur dan memberikan santunan yang memadai kepada keluarga yang ditinggalkan serta perhatian khusus terhadap pendidikan anak-anak dari para prajurit yang gugur.