Senin 26 Apr 2021 15:36 WIB

Mahasiswa Temukan Corona Baru pada Kelelawar di Inggris

Virus corona jenis baru tersebut tidak berisiko bagi manusia.

Rep: Eva Rianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Kelelawar (Ilustrasi)
Kelelawar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang mahasiswa Universitas East Anglia (UEA) menemukan virus corona baru pada kelelawar Inggris untuk pertama kalinya. Namun, para peneliti menyebut virus corona jenis baru tersebut tidak berisiko bagi manusia.

Studi yang diproduksi oleh Universitas East Anglia, Zoological Society of London (ZSL), dan Public Health England (PHE) itu mengatakan, tidak ada bukti bahwa virus baru telah ditularkan ke manusia, atau mungkin di masa depan kecuali jika bermutasi. Penemuan itu dilakukan oleh mahasiswa sarjana ekologi Ivana Murphy dari Sekolah Ilmu Biologi UEA yang mengumpulkan kotoran kelelawar tapal kuda sebagai bagian dari disertasi penelitian tahun terakhirnya.

Baca Juga

Penelitian tersebut melibatkan penangkapan sebanyak 53 kelelawar di Somerset, Gloucestershire dan Wales untuk menganalisis masalah feses, yang kemudian dikirim untuk analisis virus di PHE. Dalam penelitian tersebut, pengurutan genom menemukan virus corona baru di salah satu sampel kelelawar, yang kemudian diberi nama ‘RhGB01’.

“Lebih dari segalanya, saya khawatir orang-orang mungkin tiba-tiba mulai takut dan menganiaya kelelawar. Seperti semua satwa liar, jika dibiarkan tidak menimbulkan ancaman apapun,” ujar Murphy, dikutip dari Eastern Daily Press, Ahad (25/4).

Diana Bell, seorang ahli penyakit zoonosis dari Sekolah Ilmu Biologi UEA mengatakan, itu adalah kasus ‘mencari dan menemukan’ virus corona berbeda yang ditemukan pada spesies mamalia lain. “Kelelawar ini hampir pasti telah menyimpan virus ini untuk waktu yang sangat lama, mungkin ribuan tahun. Kami tidak mengetahuinya sebelumnya karena ini adalah pertama kalinya tes semacam itu dilakukan pada kelelawar Inggris,” kata Bell.

Virus serupa diketahui telah ditemukan pada spesies kelelawar tapal kuda lainnya di China, Asia Tenggara, dan Eropa Timur. Menindaklanjuti penemuan itu, Bell mengungkapkan perlunya peraturan yang ketat diterapkan secara global untuk siapapun yang menangani kelelawar dan hewan liar lainnya.  

Sementara itu, seorang profesor dari ZSL Andrew Cunningham menegaskan, virus tersebut bukanlah ancaman bagi manusia karena merupakan receptor binding domain (RBD). Maksudnya, bagian dari virus yang menempel pada sel inang untuk menginfeksi mereka tidak kompatibel dengan kemampuan untuk menginfeksi sel manusia.

“Tapi masalahnya adalah kelelawar yang memiliki virus corona mirip SARS dapat bertindak sebagai tempat peleburan bagi mutasi virus,” tuturnya.  

Dia berpendapat, untuk menekan penularan SARS-CoV-2, perlu didorong lebih gencar pelaksanaan vaksinasi secara global. “Karenanya mengurangi peluang mutasi virus, sangat penting dengan kampanye vaksinasi massal global saat ini untuk melawan virus ini,” ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement