REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Aktivis yang menentang junta Myanmar menyerukan agar orang-orang berhenti membayar tagihan listrik dan pinjaman pertanian. Para aktivis juga menyerukan para siswa berhenti sekolah.
Kampanye pembangkangan sipil di Myanmar telah melumpuhkan ekonomi dan meningkatkan prospek bencana kelaparan. Pada Senin (26/4), aktivis pro-demokrasi telah menyerukan intensifikasi upaya untuk menentang junta militer dengan menolak membayar tagihan listrik dan pinjaman pertanian.
"Kami semua, orang-orang di kota-kota, daerah dan negara bagian harus bekerja sama untuk membuat boikot terhadap junta militer," kata aktivis Khant Wai Phyo.
"Kami tidak berpartisipasi dalam sistem mereka, kami tidak bekerja sama dengan mereka," ujar Khant Wai Phyo menambahkan.
Aktivis mengkritik keonsensus lima poin dalam pertemuan ASEAN. Konsensus lima poin itu mencakup diakhirinya kekerasan, memulai dialog di antara semua pihak, menerima bantuan, dan menunjuk utusan khusus ASEAN yang akan diizinkan mengunjungi Myanmar.
Perjanjian tersebut tidak menyebutkan upaya pembebasan tahanan politik. Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik mengatakan 3.431 orang ditahan karena menentang kudeta.
Aksi protes terjadi di kota-kota besar Myanmar pada Ahad (25/4). Tepatnya sehari setelah Jenderal Senior Min Aung Hlaing mencapai kesepakatan, pada pertemuan puncak dengan para pemimpin ASEAN di Jakarta, Indonesia.
Uni Eropa menyambut baik konsensus lima poin sebagai langkah maju yang mendorong upaya ASEAN untuk menyelesaikan krisis. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell mengatakan, Uni Eropa akan terus menyerukan pembebasan semua tahanan politik.
"Kami siap untuk mendukung dialog dengan semua pemangku kepentingan utama yang ingin menyelesaikan situasi dengan itikad baik, dengan tujuan untuk memfasilitasi pemulihan kekuasaan yang cepat ke lembaga demokrasi yang sah," ujar Borell.