REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Lebih dari setahun setelah pandemi virus corona, terjadi lonjakan infeksi virus korona dan kematian yang tiba-tiba di Jalur Gaza. Hal itu membuat rumah sakit di Gaza semakin kewalahan
Rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 memperingatkan bahwa, pasokan oksigen semakin menipis. Lonjakan kasus virus korona di Gaza disebabkan oleh pencabutan pembatasan sosial pada Februari, dan munculnya varian baru virus corona.
Pada saat yang sama, lebih dari 2 juta orang Gaza mengabaikan protokol kesehatan, terutama selama bulan Ramadan. Pada siang hari, pasar dipenuhi pembeli yang membeli kebutuhan untuk berbuka puasa.
Keputusan untuk membuka kembali pembatasan didorong oleh masalah ekonomi. Penutupan tersebut semakin mengguncang ekonomi Gaza yang telah lama menderita, di mana pengangguran mencapai sekitar 50 persen.
"Korona bukanlah permainan. Ini akan merenggut nyawa banyak orang jika mereka tidak melindungi diri mereka sendiri," kata Yasmin Ali, yang ibunya meninggal dunia karena Covid-19 pekan lalu.
Pekan lalu, jumlah kematian harian naik di atas 20, dibandingkan pada lonjakan pertama yang mencapai 15 kematian per hari. Sementara infeksi harian mencapai 1.000 hingga 1.500. Jumlah total infeksi mendekati 100.000, dengan 848 kematian.
Rumah Sakit Eropa di kota Khan Younis, yang menjadi rujukan Covid-19 telah kehabisan sumber daya. Direktur Rumah Sakit Eropa Yousef al-Aqqad mengatakan, 118 dari 150 tempat tidur telah ditempati oleh pasien dalam kondisi kritis atau serius. Dia mengatakan, rumah sakit membutuhkan tambahan ratusan tabung oksigen jika jumlah pasien melebihi 150.
Sementara itu, Rumah Sakit Shifa yang terbesar di Gaza, memiliki 100 tempat tidur untuk pasien Covid-19, termasuk 12 tempat tidur di ICU. Rumah sakit telah menunda operasi elektif dan menutup klinik rawat jalan, namun tetap melanjutkan layanan seperti operasi jantung dan dialisis.
Kementerian Kesehatan mengatakan hampir semua wilayah Gaza, telah ditetapkan sebagai zona merah karena penyebaran yang meluas.
Seorang pejabat senior kesehatan, Majdi Dhair mengatakan, infrastruktur medis Gaza yang terbatas dapat memperburuk situasi. Sejauh ini, Gaza telah menerima dosis yang cukup untuk memvaksinasi lebih dari 55.000 orang. Vaksin tersebut didatangjah datang dari Uni Emirat Arab dan program Covax yang didukung PBB.