REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengaku terkejut menyaksikan kekerasan yang memilukan di Myanmar. Menurutnya para jenderal militer di negara tersebut harus bertanggung jawab atas tindakan represif dan brutal terhadap warga sipil.
"Upaya militer (Myanmar) yang tidak sah dan brutal untuk memaksakan kehendaknya setelah satu dekade kebebasan yang lebih besar jelas tidak akan pernah diterima oleh rakyat dan tidak boleh diterima oleh dunia yang lebih luas," kata Obama melalui akun Twitter pribadinya pada Senin (26/4).
Menurutnya, negara-negara tetangga Myanmar juga harus mengakui bahwa rezim pembunuh yang ditolak rakyat hanya akan membawa ketidakstabilan lebih besar, memicu krisis kemanusiaan, dan risiko negara gagal. Obama mendesak masyarakat Myanmar yang mencari masa depan demokratis terus menjalin solidaritas antarkelompok etnis serta agama.
"Ini adalah masa-masa kelam, tetapi saya tersentuh oleh persatuan, ketangguhan, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi yang ditunjukkan oleh begitu banyak orang Burma, yang menawarkan harapan untuk masa depan yang bisa dimiliki Myanmar melalui para pemimpin yang menghormati keinginan rakyat," kata Obama.
Sejak awal Februari lalu, ribuan warga di seluruh wilayah Myanmar menggelar aksi unjuk rasa menentang kudeta yang dilakukan militer. Namun aksi damai itu direspons secara represif dan brutal oleh aparat keamanan. Aksi pemukulan, bahkan penembakan terhadap para demonstran terjadi di berbagai daerah di Myanmar. Lebih dari 750 orang dilaporkan telah tewas dalam demonstrasi tersebut.
Menurut kelompok advokasi The Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), terdapat 3.431 orang yang telah ditahan karena menentang kudeta. Satu di antara mereka adalah pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
Baca juga : Aktivis Myanmar Kritik Hasil KTT ASEAN
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Selain Aung San Suu Kyi, mereka turut menangkap Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.