REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan kita tidak mudah. Bagaimana jika masuk kerja di suatu perusahaan dibantu orang dalam atau keluarga? Apakah itu dilarang oleh syariah? Mohon penjelasan Ustadz.
Pertanyaan ini diajukan Hendra, Banjarmasin, sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika. Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan Ustadz Dr Oni Syahroni, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berikut paparannya:
Jika yang dimaksud dengan bantuan tersebut adalah bantuan teknis, seperti informasi yang disampaikan kepada calon peserta sehingga informasi mudah diakses, itu diperkenankan.
Tetapi, jika bantuan yang dimaksud adalah dengan memberikan uang pelicin kepada oknum hingga ia lulus, atau bukan uang pelicin tetapi dengan jabatannya memerintahkan kepada mereka yang menyeleksi untuk meluluskannya, maka kedua kondisi tersebut tidak diperbolehkan.
Kesimpulan tersebut bisa dijelaskan secara mendetail dalam beberapa poin berikut ini. Pertama, jika orang dalam tersebut hanya memberikan bantuan teknis dan selebihnya dilakukan secara profesional, seperti tetap mengikuti fit and proper test (jika ada) atau kriteria sebagai karyawan perusahaan terpenuhi, maka diperkenankan karena bagian dari tolong-menolong dalam kebaikan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ "Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa ...." (QS Al Maidah: 2).
Hal ini merujuk kepada kelaziman dan urf atau tradisi yang sahih bahwa bantuan teknis seperti informasi dan sejenisnya itu dipandang wajar dan lazim. Begitu pula bantuan tersebut tidak memenuhi salah satu kriteria risywah atau suap sebagaimana dijelaskan para ahli hadits dan fiqih.
Kedua, tetapi jika bantuannya berbentuk uang pelicin atau uang suap ke orang dalam sehingga membuat yang seharusnya tidak lulus menjadi lulus, itu tidak diperkenankan.
Ketiga, begitu pula jika kerabat atau orang dalam tersebut memiliki jabatan dan dengan jabatannya bisa membantu untuk meluluskan tanpa mengikuti prosedur seleksi yang ada. Walaupun tidak ada uang pelicin yang diberikan, ia memerintahkan kepada stafnya agar keluarganya atau kerabatnya diterima. Itu juga tidak diperbolehkan karena itu bagian dari suap dengan nonmateriel.
Hal ini merujuk kepada kriteria risywah, bahwa sesuatu dikategorikan suap atau risywah apabila memenuhi kriteria yakni (a) diperjanjikan/ dipersyaratkan oleh penerima hadiah. Maksudnya, jika ada hadiah yang diberikan maka keinginan pemberi hadiah bisa dipenuhi.
(b) Hadiah tersebut diberikan agar keinginan pemberi hadiah tersebut terpenuhi. Keinginan tersebut dalam bentuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau mengambil hak orang lain. (c) Melanggar code of conduct di lembaga/perusahaan tersebut walaupun hadiah tersebut tidak diperjanjikan.
Dengan kriteria tersebut, maka setiap orang yang mendapatkan jabatan/pekerjaan bukan karena kompetensi dan kapabilitasnya. Pada saat yang sama, hal tersebut meluluhlantakkan profesionalisme dan merugikan mereka yang kompeten. Kerugian dan kezaliman tersebut di balik pengharaman dan larangan suap. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Rasulullah SAW melaknat pemberi suap dan penerima suap." (HR Tirmidzi).
Kriteria (a) dan (b) itu sebagaimana dijelaskan Syekh 'Athiyah Saqr dalam kitab Ahsanul Kalam fil Fatwa wal Ahkam dan Al Qardhawi dalam Min Hadyil Islam Fatawa Mu'asyirah.
Di tengah dinamika dan kesulitan sebagian orang terhadap peluang pekerjaan, maka mempersiapkan diri agar mempunyai ragam kemampuan dan komitmen kepada nilai prinsip menjadi keniscayaan agar tetap bisa berkarier dan berkiprah dengan cara-cara yang berkah. Wallahu a'lam.