REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak menampik keterkaitan Prabowo Subianto dalam PT Aero Citra Kargo (ACK). Menurut Dahnil, nama Prabowo kerap dicatut oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi mereka.
"Tidak benar, PT ACK itu bukan milik Pak Prabowo dan tidak ada kaitannya dengan Pak Prabowo," ujar Dahnil saat dikonfirmasi lewat pesan singkat, Kamis (29/4).
Dahnil mengatakan, nama Prabowo Subianto biasa dicatut oleh orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi mereka. Melihat hal tersebut, Dahnil menyatakan, pihaknya sangat menyayangkan perilaku-perilaku yang seperti demikian.
"Nama beliau biasa dicatut orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadi mereka, kita sangat sayangkan perilaku-perilaku tersebut," jelas Dahnil.
Sebelumnya, nama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disebut dalam sidang lanjutan perkara suap izin ekspor benih lobster atau benur tahun 2020. Sidang ini telah menjerat mantan menteri kelautan dan perikanan Edhy Prabowo.
Hal itu terungkap ketika Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ronald F Worotikan membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi Ardi Wijaya selaku manajer ekspor impor PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (28/4).
Baca juga : Persidangan Suap Benur, Saksi Menyebut Nama 'Prabowo'
Awalnya, jaksa Ronald bertanya kepada Ardi Wijaya terkait siapa pengendali PT Aero Citra Kargo (ACK). Diketahui, PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan jasa angkut benur. Bahkan, dalam dakwaan disebutkan jika PT ACK mendapat keuntungan Rp 38,5 miliar dalam 5 bulan.
"Apakah saudara mengetahui PT ACK, atau pernah dengar ini pengendalinya siapa?" tanya Jaksa Ronald.
Kepada Jaksa, Ardi Wijaya mengaku tak tahu-menahu. Tak puas dengan jawaban Ardi, Jaksa kemudian menanyakan, apakah Ardi pernah mendengar dari pemilik PT DPPP Suharjito soal siapa pihak yang mengendalikan PT ACK. Ardi mengaku pernah, tapi tak secara spesifik. "Memang tidak secara spesifik pengendali PT ACK, memang ada diskusi dengan Suharjito. Dan, diskusi itu diskusi pada bulan Oktober," kata Ardi.
Mendengar jawaban Ardi yang tak lugas, Jaksa KPK kemudian membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Ardi Wijaya. Dalam BAP tersebut muncul nama Prabowo.
"Ini kami tanyakan karena ada di BAP saudara nomor 27, ini saudara di alinea terakhir mengatakan seperti ini, 'Suharjito kemudian menimpali bahwa PT ACK itu tidak bisa dipecah oleh orang lain atau dipergunakan oleh orang lain karena punya Prabowo khusus'," ujar jaksa
"Karena, menurut Suharjito, untungnya Rp 30 miliar per bulan, kalau ekspor 1 juta sampai 5 juta per bulan pasalnya menurut Suharjito adalah 1.600 x 5 juta ekor dan kemudian saya tambahkan bahwa biasanya uang itu cash-cash-an diambil dari pihak KKP," lanjut jaksa.
Jaksa KPK kemudian menyelisik lebih dalam soal isi BAP tersebut. "Ini saya dapatkan dari omongan grup Perduli (Persatuan Dunia Lobster Indonesia) kalau sedang mengobrol. Ini maksudnya apa ini? Maksudnya Prabowo siapa?" cecar jaksa.
"Ini yang saya tangkap, beliau pasti mengaitkan itu dengan Pak Prabowo," kata Ardi.
"Prabowo siapa?" cecar Jaksa.
"Pak Prabowo, Menhan," kata Ardi.
"Itu yang saudara tangkap, karena kan terdakwa Prabowo juga?" cecar Jaksa lagi.
"Iya, karena di majalah-majalah sebelumnya itu dikait-kaitkan berhubungan dengan kader," jawab Ardi.
"Tapi, saya tidak menanya balik dan tidak memperjelas," ujar Ardi menambahkan. Ardi mengaku, enggan menanyakan langsung kepada Suharjito.
Edhy Prabowo didakwa telah menerima suap sejumlah Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih bening (benur) lobster. Suap itu diduga untuk mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster kepada para eksportir.
Atas perbuatannya, Edhy didakwa didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.