REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedatangan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini untuk meminta berkas perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Saya bersama semua pimpinan yang lain itu untuk memastikan kedudukan atau posisi kasus BLBI dan kami dapat dokumen dari KPK tadi tentang ini," kata Mahfud MD di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (29/4).
Meski demikian, dia tidak memerinci dokumen apa saja yang didapatkan dari KPK menyusul jumlahnya yang banyak. Namun, Mahfud mengatakan bahwa dokumen-dokumen itu nantinya akan digunakan untuk merampas aset dari perkara BLBI yang jumlahnya mencapai lebih dari 110 triliun.
Mahfud mengungkapkan, pemerintah juga sudah mendata aset jaminan dalam kasus tersebut. Pemerintah, dia menambahkan, juga sudah siap mengeksekusi jaminan itu untuk menagih utang di kasus BLBI.
"Barang jaminannya sudah ada sekarang karena sudah selesai, kita klasifikasi mana yang bisa dieksekusi sekarang, mana yang bisa ditagih dalam bentuk tunai dan sebagainya," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, dia kembali menegaskan alasan KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak dimasukan ke dalam satgas BLBI. Dia menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan guna menjaga independensi kedua lembaga dimaksud.
Baca juga : Tim Teknis Bansos Terima Uang Lelah dari Pejabat Kemensos
Namun, Mahfud mempersilakan kedua lembaga tersebut untuk melakukan audit terkait perkara yang dimaksud. Dia mengatakan, pemerintah hanya menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke dalam satgas BLBI.
"Tadi sudah clear, kita akan bekerja sama mengerjakan masalah ini. Jadi, saya harap masyarakat juga paham ini menagih sebagai hak negara," katanya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengungkapkan bahwa terdapat enam macam bentuk aset hak tagih BLBI. Di antaranya kredit properti, rekening uang asing, saham, 12 kompleksitas persoalan penagihan, di antaranya seperti jaminan yang digugat pihak ketiga dan lain sebagainya.
Seperti Diketahui, KPK sempat menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai DPO pada Agustus 2019 lalu. Penetapan ini dilakukan karena Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, mangkir setelah dua kali dipanggil penyidik pada 28 Juni 2019 dan 19 Juni 2019 lalu sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI.
Sjamsul Nursalim selanjutnya mendapatkan SP3 bersama dengan istrinya, Itjih Nursalim (ISN). KPK beralasan bahwa mereka tidak bisa memenuhi syarat adanya tindak pidana korupsi terkait penyelenggara negara dalam perkara tersebut.
"KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (1/4) lalu.
Ini merupakan kali pertama KPK mengeluarkan SP3 sejak diberlakukannya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK atau UU KPK hasil revisi. Alex mengatakan, penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK sekaligus guna memberikan kepastian hukum bagi para tersangka.