REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Demonstran di Myanmar menolak melakukan pembicaraan dengan militer hingga seluruh tahanan politik yang ditangkap sejak awal kudeta pada 1 Februari lalu dibebaskan. Para penentang militer tergabung dalam pemerintah persatuan pro-demokrasi Myanmar (NUG), yang dibentuk sejak vampir tiga bulan lalu. Diantara orang-orang yang ada dalam organisasi ini adalah anggota parlemen yang digulingkan saat kudeta.
“Sebelum dialog konstruktif dapat dilakukan, harus ada pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan politik, termasuk di antaranya Presiden U Win Myint, Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi,” ujar Mahn Winn Khaing Thann yang menjabat sebagai Perdana Menteri NUG, dilansir The Irish Independent, Kamis (29/4).
Win Myint, Suu Kyi dan beberapa pejabat pemerintahan sipil telah ditahan sejak awal kudeta, yang diluncurkan militer saat masa jabatan kedua pemerintahan sipil dipersiapkan, dengan kemenangan pada pemilihan November 2020. Militer Myanmar mengatakan mereka harus merebut kekuasaan karena keluhan kecurangan dalam pemilu tidak ditangani oleh komisi pemilu.
Protes pro-demokrasi telah terjadi di kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri sejak kudeta. Militer menindak dengan kekuatan mematikan terhadap para pengunjuk rasa, menewaskan lebih dari 750 orang.
Militer Myanmar juga telah menekan kebebasan media. Jurnalis menjadi diantara banyak orang yang ditahan. Para pengunjuk rasa hingga saat ini terus menyuarakan protes dan mendukung NUG, dengan aksi terbaru dilakukan di Mandalay.
Atas situasi konflik di Myanmar, para pemimpin negara-negara Asia tentara (ASEAN) melakukan pertemuan dengan junta militer, dalam upaya mendesak krisis diakhiri segera. Pertemuan disebut mencapai konsensus lima poin, mengenai langkah-langkah mengakhiri kekerasan dan mempromosikan dialog antara pihak-pihak yang berkonflik.
Meski demikian, junta militer Myanmar telah menolak untuk menerima proposal untuk menyelesaikan krisis dari pertemuan dengan para pemimpin ASEAN akhir pekan lalu, yang dihadiri oleh Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing.