Kamis 29 Apr 2021 13:31 WIB

PPATK Dorong RUU Perampasan Aset Segera Ditetapkan

Perampasan aset di Indonesia saat ini belum optimal karena tidak adanya regulasi.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Mas Alamil Huda
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae.
Foto: undefined
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae mendesak segera ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset yang telah diinisiasi penyusunannya sejak 2003. Dian mengatakan, perampasan aset di Indonesia saat ini belum optimal karena tidak adanya regulasi tentang perampasan aset hasil tindak pidana.

"Belum adanya UU tentang asset recovery membuat pelaku kejahatan dan pencucian uang tidak jera dan jeri terhadap hukuman yang diterima, karena yang bersangkutan masih dapat menikmati uang hasil kejahatan setelah menjalani hukuman badan," kata Dian dalam acara PPATK Legal Forum yang disiarkan virtual, Kamis (29/4).

Dian mengatakan, regulasi perampasan aset yang didorong PPATK saat ini dimaksudkan sebagai upaya paksa negara untuk mengambil alih penguasaan dan atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tanpa didasarkan penghukuman terhadap pelaku.

Sebab, dari pemantauan PPATK, upaya perampasan saat ini belum optimal, khususnya terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau yang sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk hasil tindak pidana yang dalam penguasaan tersangka terdakwa yang melarikan diri atau telah meninggal.

"Permasalahan tersebut diatas dapat diselesaikan dengan penetapan RUU perampasan aset, RUU ini telah diinisaisi penyusunan oleh PPATK sejak 2003 dengan mengadopsi UNCAC yang telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2006," katanya.

Ia mengatakan, tanpa adanya perampasan aset,  pemberantasan tindak pidana pencucian uang terhadap tindak pidana asal dengan motif ekonomi seperti korupsi, narkotika, dan perbankan masih menghadapi tantangan besar. Salah satunya, belum optimalnya penegakan hukum dengan pendekatan aliran transaksi atau follow the money pada penanganan korupsi misalnya, mengakibatkan semakin meningkatkan potensi kerugian negara.

"Dari tindak pidana korupsi selama 2013-2020 hampir mencapai angka Rp 135 triliun," katanya.

Selain itu, minimnya pendekatan follow the money juga makin meningkatkan jumlah hasil analisis dan hasil pemeriksaan PPATK pada 2020. Yakni sebanyak 177 hasil analisis atau 40 persen dari total hasil analisis keseluruhan, serta 16 hasil pemeriksaan atau 67 persen dari total hasil pemeriksaan keseluruhan yang dihasilkan PPATK yang semuanya telah diserahkan ke KPK, Kejaksaan Agung dan kepolisian.

Sedangkan jika ditinjau dari aspek hasil kejahatan dari tindak pidana asal, diketahui secara statistik periode 2016-2018 terdapat 159 putusan dengan nilai hasil kejahatan sebesar Rp 10,397 triliun. Namun jumlah tersebut sebesar Rp 8,482 triliun atau 81,5 persen berasal dari hasil kejahatan tindak pidana narkotika, korupsi, dan perbankan.

Karenanya, perlu upaya mitigasi untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya.

"PPATK meyakini bahwa dengan ditetapkannya RUU Perampasan Aset dalam Tindak Pidana dapat membantu negara, dan ini akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi," ungkapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement