REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan sistem perizinan impor otomatis, atau automatic import licensing, berpotensi meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dengan meniadakan dampak kebijakan nontarif sektor pangan yang berkontribusi pada harga pangan. Hal itu diyakini dapat meningkatkan keterjangkauan pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Hasil penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memperlihatkan, meningkatnya penggunaan kebijakan hambatan nontarif dalam sektor pangan berkontribusi pada tingginya harga pangan di Indonesia dan dengan besarnya porsi pengeluaran pangan masyarakat, berdampak pada peningkatan kemiskinan, ketimpangan dan risiko malnutrisi.
“Penerapan kebijakan nontarif pada perdagangan pangan berkontribusi pada tingginya harga komoditas pangan, terutama pada komoditas penting yang kenaikan harganya berdampak besar pada tingkat konsumsinya di masyarakat. Hal ini akan mempengaruhi konsumsi, terutama konsumsi keluarga yang di bawah garis kemiskinan,” kata Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta, Kamis (29/4).
Ia mengatakan, kebijakan hambatan nontarif memang diperlukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen. Namun banyak pula yang justru menimbulkan hambatan perdagangan yang seharusnya tidak perlu.
Penghapusan kebijakan nontarif pada beras dan daging asap, misalnya, berpotensi membantu upaya pengentasan kemiskinan hingga sekitar 2,83 persen. Perkiraan ini menunjukkan perlunya pengurangan jumlah kebijakan nontarif pada impor pangan, terutama pada komoditas yang paling banyak dikonsumsi.
“Harga makanan dan kemiskinan memiliki keterkaitan karena pengeluaran terbesar rumah tangga adalah untuk makanan. Bank Dunia menyebut, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 48,55 persen dari pengeluaran mereka untuk makanan dan minuman,” ujarnya.
Bank Dunia juga menyebut mereka dengan pengeluaran di bawah 2,97 dolar AS per kapita per hari, membelanjakan 56,21 persen dari penghasilannya untuk makanan. Kondisi ini membuat orang Indonesia, terutama yang berpenghasilan rendah, sangat rentan terhadap fluktuasi harga pangan.
“Pada rumah tangga hampir miskin, hal ini bahkan bisa mendorong mereka ke dalam kemiskinan. Ketika harga naik, orang-orang yang sudah di ambang kemiskinan dihadapkan pada pilihan untuk menjadi miskin atau kelaparan,” kata dia.
Ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan penggunaan sistem perizinan impor otomatis untuk mempersingkat proses perizinan dan menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih sehat dan kompetitif.
Selama ini, keputusan strategis dalam kebijakan perdagangan pangan diambil melalui rapat koordinasi terbatas antar-kementerian dan juga harus memenuhi berbagai persyaratan.
Impor pangan Indonesia juga dikontrol pemerintah melalui Quantitative Restrictions (QR), yang lebih dikenal sebagai kuota impor. Kuota ini dikelola melalui sebuah proses panjang perizinan impor non-otomatis yang melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan lembaga terkait lainnya.
“Sistem perizinan impor non-otomatis menyebabkan keluarnya izin impor menjadi tertunda, menyebabkan kekurangan pasokan dan berkontribusi pada kenaikan harga,” jelasnya.
Sistem perizinan impor otomatis memberikan kesempatan kepada semua importir terdaftar untuk mengimpor dan penggunaannya akan dapat mengurangi berbagai penundaan akibat proses birokrasi serta menghilangkan peluang korupsi. Importir yang memenuhi persyaratan dapat mengimpor kapan saja, tanpa harus bergantung pada keputusan pemerintah.
Penerapannya juga akan mendorong produsen yang kurang efisien untuk meningkatkan produktivitas mereka agar produk impor tidak membanjiri pasar domestik dan menggantikan produksi pertanian dalam negeri.
“Dibutuhkan juga reformasi kebijakan yang memungkinkan masuknya investasi supaya modernisasi pertanian bisa tercapai. Modernisasi pertanian dalam negeri diperlukan untuk meningkatkan daya saing petani, melalui penggunaan teknologi pertanian dan Good Agricultural Practice serta, peningkatan kapasitas mereka,” kata dia.