REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Pelita Harapan, Adriana Elisabeth, meminta pemerintah tetap punya mekanisme perundingan dalam menangani konflik di Papua.
Hal ini menyusul pelabelan terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan organisasi yang berafiliasi di Papua sebagai daftar terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT).
Adriana yang juga aktif di Jaringan Damai Papua menyayangkan keputusan pelabelan teroris yang diambil pemerintah terhadap gerakan separatis di Papua. Ia meyakini kekerasan bukan merupakan solusi utama dalam konflik.
"Cara damai harus tetap dilakukan untuk mengimbangi coercive power, misalnya dengan membuka komunikasi dengan otoritas di Papua untuk mendukung keamanan warga Papua," kata Adriana kepada Republika.co.id, Kamis (29/4).
Adriana menduga label teroris akan membuat siklus kekerasan berlanjut di Papua. Ia menduga masyarakat yang berada di wilayah perkampungan akan sangat terdampak dengan kondisi yang tidak aman. Ia pun menuntut pemerintah bertanggungjawab atas dampak konflik yang berpotensi makin parah usai pelabelan ini.
"Yang paling penting mengatasi masalah kemanusiaan khususnya membantu warga yang mengungsi karena mereka pasti akan kehilangan pekerjaan, anak-anak tidak bisa sekolah dan sulit mendapatkan akses kesehatan," ujar Adriana.
Selain itu, Adriana mengingatkan pemerintah berhati-hati dalam melancarkan operasi penanganan terorisme di Papua. Menurutnya, pihak asing bisa saja ikut campur kalau pemerintah melanggar HAM secara masif dalam operasi tersebut.
"PBB bisa mengintervensi kalau terjadi pelanggaran HAM yang masif selama operasi pengejaran dan penangkapan KKB," ucap Adriana.
Diketahui, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD telah meminta kepada semua aparat keamanan terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur terhadap organisasi-organisasi yang kini dilabeli teroris di Papua.
"Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris," ujar Mahfud MD dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (29/4).
Mahfud menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah mendengar pernyataan dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Intelijen Negara (BIN), pimpinan Polri-TNI dan tokoh-tokoh Papua. Mahfud mengklaim banyak tokoh masyarakat, tokoh adat Papua, serta pimpinan resmi Papua yang datang ke kantornya untuk memberi dukungan.